Pada suatu sore setelah puas bermain di taman istana,
Dewayani dan putri-putri Wrishaparwa, raja para
raksasa, pergi mandi ke telaga di tepi hutan yang jernih
dan sejuk airnya. Sebelum menceburkan diri ke dalam air
yang segar, mereka menanggalkan pakaian dan menyim-
pan pakaian itu di tepi telaga. Tiba-tiba angin puting
beliung berembus kencang, menerbangkan pakaian
mereka dan membuatnya menjadi satu tumpukan. Setelah
mandi dan berpakaian, ternyata terjadi kekeliruan. Tanpa
sengaja Sarmishta, putri Wrishaparwa, mengenakan pakai-
an Dewayani. Melihat itu Dewayani berkata, “Alangkah
tidak pantasnya putri seorang murid mengenakan pakaian
milik putri gurunya.”
Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan lembut,
Sarmishta merasa disindir dan tersinggung. Ia marah dan
dengan angkuh berkata, “Tidakkah engkau sadar bahwa
ayahmu setiap hari dengan hinanya berlutut menyembah
ayahku? Bukankah ayahmu menggantungkan hidupnya
pada belas kasihan ayahku? Lupakah kau bahwa aku ini
anak raja yang dengan murah hati memberikan tumpa-
ngan hidup bagimu dan bagi ayahmu? Hai, Dewayani,
sesungguhnya kau hanya keturunan peminta-minta!
Lancang benar kata-katamu kepadaku.”
Memang benar apa yang dikatakan Sarmishta. Sebagai
resi atau pandeta, Mahaguru Sukra berkasta brahmana.
Sesuai adat, ia hidup dari belas kasihan orang lain. Jika
P
memerlukan sarana hidup, seorang brahmana hanya boleh
meminta-minta. Meskipun demikian, sesungguhnya bagi
kasta brahmana hal itu dianggap perbuatan yang mulia.
Dewayani tidak menanggapi kata-kata Sarmishta.
Sebaliknya, Sarmishta yang terbakar oleh kata-katanya
sendiri, menjadi semakin marah. Tak dapat mengendalikan
diri, tangannya terayun, menampar pipi Dewayani. Ia
bahkan mendorong putri resi itu sampai jatuh ke parit
yang dalam. Sarmishta, yang mengira Dewayani sudah
mati, segera kembali ke istana.
Sementara itu, Dewayani merasa cemas dan sedih
karena tidak bisa keluar dari parit yang dalam itu.
Kebetulan, Maharaja Yayati, seorang keturunan Bharata,
sedang berburu di tepi hutan dan melewati tempat itu.
Karena haus, ia mencari air. Dilihatnya ada parit berair
jernih di dekat situ. Dia turun dari kudanya, mendekati
parit itu, lalu membungkuk hendak mengambil airnya.
Ketika itulah ia melihat sesuatu yang bercahaya di dasar
parit. Yayati memperhatikan dengan lebih saksama dan
terkejut melihat seorang putri jelita terpuruk di dalam
parit.
Lalu ia bertanya, “Siapakah engkau ini, hai putri jelita
dengan anting-anting berkilau dan kuku bercat merah
indah? Siapakah ayahmu? Keturunan siapakah engkau?
Bagaimana engkau bisa jatuh ke dalam parit ini?”
Dewayani menjawab sambil mengulurkan tangan
kanannya, “Namaku Dewayani. Aku putri Resi Sukra.
Tolonglah aku keluar dari dalam parit ini.”
Yayati menyambut tangan yang halus itu lalu menolong
Dewayani keluar.
Dewayani tidak ingin kembali ke ibukota kerajaan
raksasa. Ia merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi,
lebih-lebih jika ia ingat perbuatan Sarmishta. Karena itu,
ia berkata kepada Yayati, “Kau telah memegang tangan
kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya.
Aku yakin, dalam segala hal kau pantas menjadi suamiku.”
Yayati menjawab, “Wahai putri jelita, aku seorang
kesatria dan engkau seorang brahmana. * Bagaimana aku
bisa mengawini engkau? Apa mungkin putri Resi Sukra
yang disegani di seluruh dunia menjadi istri seorang kesa-
tria seperti aku? Putri yang agung, kembalilah pulang.”
Setelah berkata demikian, Yayati kembali ke ibukota
kerajaannya.
Sepeninggal Yayati, Dewayani tetap bertekad untuk
tidak pulang ke istana. Ia memilih tinggal di hutan, di
bawah sebatang pohon.
Sementara itu, Resi Sukra sia-sia menunggu putrinya
pulang. Beberapa hari berlalu, tetapi Dewayani tak kun-
jung pulang. Akhirnya Resi Sukra menyuruh seseorang
mencari putri kesayangannya.
Utusan itu mencari ke mana-mana. Setelah menempuh
perjalanan cukup jauh, akhirnya dia menemukan Dewa-
yani yang duduk di bawah sebatang pohon di tepi hutan.
Putri itu tampak sangat sedih. Matanya merah karena
lama menangis. Wajahnya keruh karena marah. Utusan itu
lalu bertanya, apa yang telah terjadi.
Dewayani menjawab, “Kembalilah engkau dan sampai-
kan kepada ayahku bahwa aku tak sudi lagi menginjakkan
kakiku di ibukota kerajaan Wrishaparwa.”
Setelah mohon pamit, utusan itu kembali ke istana
untuk melaporkan hal itu kepada Resi Sukra.
Mendengar laporan utusannya, Resi Sukra sangat
sedih. Ia segera menemui anaknya dan menghiburnya
sambil berkata, “Anakku sayang, kebahagiaan dan keseng-
saraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya
sendiri. Kalau kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan
orang lain tidak akan mempengaruhi kita.” Demikianlah
Resi Sukra mencoba menghibur anaknya.
* Menurut tradisi kuno yang disebut anuloma, perempuan dari kasta
kesatria boleh menikah dengan laki-laki dari kasta brahmana. Tetapi,
perempuan dari kasta brahmana tidak dibenarkan menikah dengan laki-
laki dari kasta kesatria. Tradisi kuno yang disebut pratilonia ini untuk
menjaga agar kaum wanita tidak direndahkan derajatnya ke status kasta
yang lebih rendah. Hal ini dinyatakan dalam kitab-kitab suci Sastra.
Tetapi Dewayani menjawab dengan sedih bercampur
dengki, “Ayahku, biarkanlah segala kebaikan dan keburu-
kanku bersama diriku karena semua itu urusanku sendiri.
Tetapi jawablah pertanyaanku ini. Kata Sarmishta, anak
Wrishaparwa, ayahku seorang ‘budak penyanyi’ yang kerja-
nya hanya menyanjung-nyanjung tuannya. Benarkah?
Katanya, aku ini anak seorang peminta-minta yang hidup
dari belas kasihan orang. Benarkah? Sarmishta sungguh
kasar. Tidak puas mengata-ngatai aku, ia menampar dan
mendorongku ke dalam parit. Aku bersumpah, aku takkan
sudi hidup di wilayah kekuasaan ayahnya.” Dewayani
menangis tersedu-sedu.
Dengan tenang dan penuh martabat, Mahaguru Sukra
berkata, “Wahai anakku Dewayani, engkau bukan anak
‘budak penyanyi’ raja. Ayahmu tidak hidup dengan
meminta-minta, mengemis belas kasihan orang. Engkau
putri seorang resi yang dihormati dan hidup dimanja di
seluruh dunia. Batara Indra, raja semua dewa, tahu akan
hal ini. Wrishaparwa tidak membutakan mata terhadap
hutang budinya kepada ayahmu. Tetapi, orang yang bijak-
sana tidak pernah mengagung-agungkan kebesarannya
sendiri.
“Sudahlah, Ayah tidak akan mengatakan apa-apa lagi
tentang jasa-jasa Ayah. Bangkitlah, wahai mutiara nan
kemilau. Kaulah yang paling jelita di antara semua wanita.
Engkau akan membawa kebahagiaan bagi keluargamu.
Bersabarlah dan marilah kita pulang.”
Tetapi Dewayani tetap berkeras tidak mau pulang.
Resi Sukra menasihatinya lagi, “Sungguh mulia orang
yang dengan sabar menerima caci maki. Orang yang dapat
menahan amarah ibarat kusir yang mampu menaklukkan
dan mengendalikan kuda liar. Orang yang dapat mem-
buang amarah jauh-jauh seperti ular yang mengelupas
kulitnya. Orang yang tidak gentar menerima siksaan akan
berhasil mencapai cita-citanya. Seperti disebutkan dalam
kitab-kitab suci, orang yang tidak pernah marah lebih
mulia daripada orang yang taat melakukan upacara
sembahyang selama seratus tahun. Pelayan, teman,
saudara, istri, anak-anak, kebajikan dan kebenaran akan
meninggalkan orang yang tak mampu mengendalikan
amarahnya. Orang yang bijaksana tidak akan memasuk-
kan kata-kata anak muda ke dalam hatinya.”
Mendengar itu, Dewayani bersujud menyembah
ayahnya, “Ayahanda, aku masih muda. Nasihat-nasihat
Ayahanda masih sulit kupahami. Tetapi, sungguh tidak
pantas bagiku untuk hidup bersama orang yang tidak
mengenal sopan santun. Orang yang bijaksana tidak akan
bersahabat dengan orang yang selalu menjelek-jelekkan
keluarganya. Orang jahat, walaupun kaya raya, sesung-
guhnya adalah hina dan tidak berkasta. Orang yang taat
beribadah tidak pantas bergaul dengan mereka. Hatiku
sangat marah karena keangkuhan anak Wrishaparwa.
Segores luka lambat laun akan sembuh, tetapi luka hati
karena kata-kata tajam akan meninggalkan goresan pedih
yang seumur hidup takkan hilang.”
Setelah gagal membujuk putrinya untuk pulang, Resi
Sukra kembali ke istana Wrishaparwa. Sampai di hadapan
Raja, dengan mata tajam ia memandangnya sambil ber-
kata, “Walaupun dosa seseorang tidak akan segera men-
dapat balasan, lambat laun dosa itu pasti akan menghan-
curkan sumber kekayaannya. Kacha, anak Wrihaspati dan
seorang brahmacharin, telah menaklukkan pancaindranya
dan tidak pernah berbuat dosa. Ia telah melayani aku
dengan penuh kepatuhan dan tidak pernah melanggar
sumpahnya. Para raksasa rakyatmu beberapa kali berusa-
ha membunuh dia, tetapi aku menghidupkannya lagi. Kini,
anakku yang memegang teguh susila dicaci-maki oleh
anakmu, Sarmishta. Ia bahkan mendorong anakku sampai
jatuh ke parit yang dalam. Ia tidak tahan lagi tinggal dalam
lingkungan kerajaanmu. Dan karena aku tidak bisa hidup
tanpa dia, aku akan pergi meninggalkan kerajaanmu.”
Mendengar itu, Wrishaparwa merasa terancam mala-
petaka. Ia berkata, “Aku tidak mengerti mengapa engkau
melontarkan tuduhan itu. Tetapi, kalau engkau pergi aku
akan terjun ke dalam api.”
Resi Sukra menjawab, “Yang kuinginkan hanyalah
kebahagiaan anakku. Aku tidak peduli nasibmu dan nasib
para raksasa rakyatmu. Dewayani anakku satu-satunya,
anak yang kukasihi melebihi hidupku sendiri. Engkau
kuijinkan mencoba menenangkan dia dan membujuknya
agar mau tetap tinggal di sini. Jika dia mau, aku tidak
akan pergi.”
Maka pergilah Wrishaparwa diiringkan beberapa penga-
wal. Mereka hendak menemui Dewayani di tepi hutan.
Sesampainya di depan gadis itu, Wrishaparwa menyembah
dan memohon agar Dewayani tidak meninggalkan keraja-
annya.
Tetapi Dewayani berkata acuh tak acuh, “Sarmishta,
yang mengata-ngatai aku anak pengemis harus menjadi
dayang-dayang di rumahku dan harus menjadi pengiring-
ku waktu aku dinikahkan oleh ayahku.”
Wrishaparwa menerima tuntutan itu dan memerin-
tahkan pengiringnya menjemput Sarmishta. Putri raja itu
mengakui kesalahannya, lalu menyembah sambil berkata,
“Baiklah aku akan menjadi dayang-dayang Dewayani
seperti yang dikehendakinya. Tidak seharusnya ayahku
kehilangan mahagurunya dan menerima balasan atas
kesalahanku.”
Dewayani menerima permintaan maaf Sarmishta. Mere-
ka berdamai dan semua kembali ke istana Wrishaparwa.
Pada suatu hari Dewayani bertemu dengan Yayati. Ia
mengulangi permintaannya dan berkata bahwa Yayati
harus mengawini dia karena pernah memegang tangan
kanannya erat-erat. Yayati menolak. Katanya, sebagai
kesatria ia tidak dibenarkan mengawini seorang wanita
berkasta brahmana. Memang kitab-kitab suci Sastra tidak
membenarkan hal itu, tetapi sekali perkawinan seperti itu
terjadi, tak ada yang boleh membatalkannya dan perka-
winan itu sah.
Akhirnya, setelah mendapat restu dari Resi Sukra,
Yayati bersedia menikahi Dewayani. Mereka hidup berba-
hagia bertahun-tahun lamanya. Sarmishta menepati janji-
nya. Ia setia melayani Dewayani sebagai dayang-dayang-
nya, sampai pada suatu malam diam-diam ia menemui
Yayati dan meminta pria itu mengawininya. Yayati tak
kuasa menolaknya. Diam-diam Sarmishta dijadikan
istrinya.
Ketika mengetahui hal itu, Dewayani marah sekali. Ia
mengadu kepada ayahnya. Resi Sukra berang, lalu mengu-
tuk Yayati menjadi orang tua ubanan sebelum waktunya
dan pria itu akan kehilangan masa mudanya.
Mengetahui dirinya dikutuk mertuanya yang sangat
sakti, Yayati takut sekali. Ia pergi menghadap Resi Sukra,
menyembah dan memohon ampun. Tetapi, Mahaguru
Sukra belum lupa akan penghinaan yang pernah diterima
anaknya.
Resi Sukra berkata, “Wahai, Tuanku Raja, engkau akan
kehilangan masa mudamu dan kemegahanmu. Kutuk-
pastu yang telah kulontarkan tak dapat dibatalkan. Tetapi,
engkau bisa minta tolong seseorang yang bersedia menu-
kar ketuaanmu dengan kemudaannya. Hal ini bisa terjadi.”
Demikianlah, sejak menerima kutukan mertuanya,
Yayati berubah menjadi lelaki tua renta yang kehilangan
keperkasaannya.