Wahai Dewiku, maukah engkau menjadi istriku? Aku
tidak peduli siapa pun engkau. Aku terpesona oleh
kecantikanmu dan jatuh cinta padamu. Siapakah engkau
dan dari manakah asalmu?” kata Raja Santanu kepada
seorang gadis jelita yang berdiri di hadapannya.
Sesungguhnya gadis itu adalah Dewi Gangga, bidadari
kahyangan yang turun ke bumi dalam wujud manusia.
Parasnya yang cantik, lekuk tubuhnya yang indah, dan
tindak-tanduknya yang halus membuat Raja Santanu
terpikat dan bangkit gairah asmaranya.
Sang Raja berjanji akan mempersembahkan seluruh
cinta, kekayaan, dan kerajaannya —bahkan seluruh
hidupnya— kepada gadis jelita itu.
Tanpa curiga atas pertanyaan Raja Santanu, gadis itu
menjawab, “Wahai Raja perkasa, hamba bersedia menjadi
istri Paduka asalkan Paduka berjanji memenuhi syarat-
syarat hamba.”
“Apakah itu?” tanya Raja Santanu tak sabar.
“Pertama, jika hamba sudah menjadi istri Paduka, tak
seorang pun, tidak juga Paduka, boleh bertanya siapa
sesungguhnya hamba dan dari mana asal-usul hamba.
Kedua, apa pun yang hamba lakukan —baik atau buruk,
benar atau salah, wajar atau ganjil— Paduka tidak boleh
menghalang-halangi. Ketiga, Tuanku tidak boleh marah
kepada hamba — dengan alasan apa pun. Keempat, Padu-
ka tidak boleh mengatakan sesuatu yang membuat pera-
“W
saan hamba tidak enak.
“Begitu Tuanku melanggar syarat-syarat itu —walau
hanya satu— hamba akan meninggalkan Tuanku saat itu
juga. Apakah Tuanku setuju dan bersedia berjanji untuk
tidak melanggarnya?”
Tanpa berpikir panjang, Raja Santanu yang sedang
dimabuk asmara langsung bersumpah akan memenuhi
semua syarat yang dikatakan si gadis jelita.
Demikianlah, tanpa mengenal siapa namanya dan tanpa
mengetahui dari mana asal-usulnya, Raja Santanu mem-
persunting gadis jelita yang ditemukannya di tepi Sungai
Gangga. Dibawanya gadis itu ke istana dan dinobatkannya
menjadi permaisurinya.
Hari demi hari berlalu. Raja Santanu semakin mencintai
permaisurinya yang jelita, lebih-lebih karena selain cantik,
permaisurinya itu sangat berbakti kepadanya dan halus
tutur katanya. Kebahagiaan Sang Raja semakin lengkap
ketika tahu permaisurinya mengandung.
Sembilan bulan mereka lewatkan dengan penuh
bahagia. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan tibalah
saatnya Dewi Gangga melahirkan. Sang Dewi pamit kepada
suaminya, mengatakan bahwa dia akan pergi menyendiri
dan melahirkan di tepi Sungai Gangga. Dia tak mau
ditemani siapa pun, tidak juga sang Raja.
Maka pergilah Dewi Gangga seorang diri. Sampai di tepi
sungai, dia mencari tempat yang teduh dan terlindung
untuk melahirkan. Bayi yang dilahirkannya langsung
dibuangnya ke sungai. Setelah membersihkan diri, sang
Dewi kembali ke istana dengan wajah berseri-seri, seolah-
olah tak terjadi apa-apa.
Raja Santanu menyambutnya dengan penuh harap.
Hatinya bahagia akan menyambut sang bayi, buah kasih-
nya dengan permaisuri yang dicintainya. Tetapi, betapa
kecewanya Raja melihat Dewi Gangga datang tanpa sang
bayi. Perasaan Baginda campur aduk. Heran, melihat istri-
nya kembali tanpa sang bayi. Cemas, memikirkan nasib
sang bayi. Murka, karena permaisurinya tampak tenang
dan tidak merasa bersalah. Raja merasa berdosa, karena
tak kuasa berbuat apa pun kecuali diam seribu bahasa.
Tak berani bertanya. Tak berani melanggar sumpah yang
telah diucapkannya.
Raja Santanu, yang terlanjur mencintai dan terpesona
oleh kecantikan permaisurinya, tak berani bertanya
sepatah kata pun. Disambutnya sang Dewi dengan mesra,
seakan-akan tak terjadi apa-apa. Mereka melanjutkan
kehidupan seperti biasa.
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Dewi
Gangga kembali hamil dan ketika tiba saatnya melahirkan,
sekali lagi dia mohon diri hendak menyepi di tepi Sungai
Gangga. Syarat yang diajukannya tetap sama: tak seorang
pun boleh mengikutinya.
Hal yang sama terulang. Sang Dewi kembali ke istana
tanpa menggendong bayi. Sang Raja, dengan perasaan ter-
tekan, menyambut istrinya seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Demikianlah, kejadian itu berulang sampai tujuh kali.
Tetapi, pada kehamilan yang kedelapan, Raja Santanu tak
kuasa menahan diri lagi. Sudah lama ia bertanya-tanya
dalam hati, siapa dan dari mana asal perempuan kejam
yang menjadi istrinya itu. Di mana semua anak yang telah
dilahirkannya? Sungguh kejam ibu yang menelantarkan
bayi-bayinya.
Diam-diam Raja membuntuti istrinya ke tepi Sungai
Gangga. Alangkah terkejutnya Baginda melihat sang Dewi
mengangkat bayi yang baru dilahirkannya dan siap mence-
burkannya ke dalam sungai. Tanpa berpikir panjang dan
lupa akan sumpahnya, Baginda berteriak lantang, “Henti-
kan! Ini pembunuhan kejam! Rupanya kau tega membu-
nuh bayi-bayimu yang tidak berdosa!” Sambil berteriak
demikian, Raja mencengkeram tangan Dewi Gangga, mena-
hannya agar tidak melaksanakan perbuatan terkutuk itu.
“Wahai, Raja yang Agung! Kau telah melanggar janjimu
padaku karena hati dan perasaanmu telah tertambat pada
bayi ini. Itu artinya, engkau tidak menginginkan aku lagi.
Baiklah, aku tidak akan membunuh bayi ini! Tetapi
sebelum aku pergi dan sebelum engkau menyimpulkan
sesuatu tentang aku, dengarkanlah ceritaku ini.
Aku adalah bidadari yang dipaksa memainkan lakon
duka ini karena sumpah Resi Wasistha. Sesungguhnya
aku ini Batari Gangga yang dipuja para dewa dan manusia.
Resi Wasistha telah menimpakan kutuk-pastu kepada
delapan wasu yang akan terpaksa lahir ke bumi ini. Para
wasu itu kemudian memohon agar aku bersedia menjadi
ibu mereka. Dengan perkenanmu, Raja Santanu, aku
melahirkan mereka ke dunia, sebagai anak-anakmu.
Sebagai balas budi karena telah menolong mereka, kelak
engkau akan mencapai tempat yang mulia tinggi di alam
baka.
Sekarang, aku akan membawa bayi ini dan mengasuh-
nya sampai dia cukup besar dan tiba waktunya untuk
kuserahkan kembali kepadamu. Anak ini akan menjadi
lambang dan kenangan atas cinta kita berdua.”
Setelah berkata demikian, Batari Gangga menghilang
bersama bayinya. Kelak, bayi itu dikenal dengan nama
Bhisma dan menjadi kesatria sakti yang termasyhur.
***
Terkisahlah bagaimana asal mulanya hingga para wasu itu
menerima kutuk-pastu dari Resi Wasistha.
Pada suatu hari, kedelapan wasu itu berjalan-jalan di
pegunungan bersama istri-istri mereka. Di pegunungan itu
terdapat pertapaan Resi Wasistha. Mereka masuk ke
pertapaan itu, tetapi sang Resi tidak ada. Di pelatarannya,
seorang wasu melihat Nandini, sapi kepunyaan sang Resi,
sedang makan rumput. Nandini tampak indah, sehat dan
menawan.
Istri-istri para wasu itu terpesona oleh keelokan
Nandini. Salah seorang dari mereka meminta suaminya
menangkap sapi itu.
Suaminya berkata, “Apa gunanya sapi itu bagi kita para
Dewa? Nandini adalah kepunyaan Resi Wasistha yang
menguasai daerah ini. Karena kesaktian sang Resi,
susunya akan membuat orang yang meminumnya hidup
abadi. Tapi, apa gunanya bagi kita karena sebagai dewa
kita sudah ditakdirkan hidup abadi? Janganlah kita
serakah. Biarkan sapi itu tenang merumput. Lagi pula,
kalau celaka kita bisa kena kutuk-pastu dan murka Resi
Wasistha — hanya karena menuruti hasrat dan kesenang-
an belaka.”
Tetapi istrinya tak mengindahkan hal itu. Ia berkata,
“Aku punya teman yang sangat kukasihi. Dia manusia
biasa. Aku ingin memberikan susu Nandini kepadanya
agar ia bisa hidup abadi. Demi dialah aku memintamu
menangkap Nandini. Sebelum Resi Wasistha kembali ke
pertapaan ini, kita sudah pergi jauh dari sini sambil
membawa sapi itu. Lakukanlah demi keinginanku, karena
permintaanku ini sangat berharga bagiku.”
Akhirnya, suaminya menurut. Kedelapan wasu itu
bersama-sama menangkap Nandini dan anaknya, lalu
melarikannya jauh-jauh.
Ketika Resi Wasistha kembali ke pertapaan, Nandini
dan anaknya tak dilihatnya. Sapi kesayangannya itu hilang
bersama seekor anaknya. Sapi yang selama ini memberi-
nya hidup dan tak dapat dipisahkan kegunaannya dalam
upacara persembahan setiap hari.
Berkat kekuatan yoganya, sang Resi mengetahui apa
yang telah terjadi. Alangkah murkanya dia. Dengan lan-
tang ia mengucapkan kutuk-pastu, mengutuk para wasu.
Karena kutukan itu, para wasu akan terlahir ke dunia dan
hidup sebagai manusia yang menderita. Itulah hukuman
bagi mereka yang telah merampas satu-satunya harta
berharga miliknya.
Ketika para wasu tahu bahwa mereka kena kutuk-
pastu, mereka sangat menyesal. Tapi... penyesalan selalu
datang terlambat. Segera mereka kembali ke pertapaan
Resi Wasistha, mengembalikan Nandini dan anaknya, lalu
bersimpuh di depan sang Resi, memohon ampun atas dosa
mereka.
Resi Wasistha berkata, “Kutuk-pastu telah terucapkan
dan akan berlaku pada waktunya. Wasu yang melarikan
sapiku akan hidup lama di dunia dalam kemewahan dan
kesenangan duniawi, tetapi wasu-wasu lain akan terlepas
dari kutuk ini segera setelah dilahirkan sebagai manusia.
Aku tak bisa menarik kutukanku, tetapi aku bisa melu-
nakkannya.”
Kemudian Resi Wasistha bersemadi. Diatur napasnya,
ditenangkan pikirannya, dan diredakan amarahnya.
Sesungguhnya, seorang resi yang sedang ber-tapabrata
memang bisa memperoleh kesaktian untuk mengutuk-
pastu. Tetapi, setiap kali ia menggunakan kesaktiannya
untuk melontarkan kutuk-pastu, derajat kesucian yang
telah berhasil dicapainya akan berkurang.
Para wasu merasa lega karena ada kemungkinan
kutukan itu akan dilunakkan. Kemudian pergilah mereka
menghadap Dewi Gangga dan memohon, “Kami datang
memujamu, Batari. Kami mohon, sudilah kiranya Batari
menjadi ibu kami. Kami mohon agar Batari bersedia turun
ke mayapada dan menikah dengan seorang raja. Kelak,
satu per satu dari kami akan terlahir lewat rahim Paduka.
Dan, segera setelah kami lahir, buanglah kami ke dalam
sungai agar kami terbebas dari kutuk-pastu.”
Dewi Gangga mengabulkan permohonan mereka. Ia
turun ke bumi, di tepi Sungai Gangga. Di sana ia bertemu
dengan Raja Santanu yang kemudian menyuntingnya
menjadi permaisurinya.
***
Kembali ke kisah Dewi Gangga yang meninggalkan Raja
Santanu. Sang Dewi menghilang bersama bayinya yang
kedelapan dan tidak pernah muncul kembali. Sejak itu,
sang Raja meninggalkan kesenangan duniawi dan
memerintah kerajaannya dengan lebih bijaksana serta
didasari semangat kerokhanian.
Pada suatu hari, Raja Santanu berjalan-jalan di tepi
Sungai Gangga. Ia melamun, mengenangkan saat-saat per-
temuannya dengan Dewi Gangga. Sungguh kenangan yang
sangat indah namun meninggalkan kepedihan di hati.
Kemudian dia melihat seorang anak laki-laki yang dikeli-
lingi aura kemegahan dan keagungan dari Dewendra, raja
dari segala dewa dan batara, anak kecil yang sedang tum-
buh menjadi remaja. Anak itu sedang bermain panah.
Berkali-kali ia melepas anak panah-anak panah dari
busurnya, mengarahkannya ke seberang Sungai Gangga.
Tak terlihat siapa-siapa di dekatnya. Begitu pula di
seberang sungai. Raja Santanu takjub dan terharu melihat
ketampanan dan ketangkasan anak itu. Raja mendekati
anak itu, ingin bertanya padanya. Tetapi... tiba-tiba dia
melihat Dewi Gangga muncul di hadapannya.
Dewi Gangga berkata dengan lemah lembut, “Wahai,
Paduka Raja, inilah anak kita yang kedelapan. Dia kuna-
mai Dewabrata dan kuasuh hingga mahir berolah senjata,
menguasai ilmu perang dan memiliki kesaktian yang setara
dengan kesaktian Parasurama. Ia telah mempelajari Weda
dan falsafah Wedanta dari Resi Wasistha. Kecuali itu, ia
juga menguasai kesenian, kebudayaan dan ilmu gaib San-
jiwini yang dikuasai Sukra. Sambutlah anak ini. Terimalah
dan asuhlah dalam istanamu. Kelak dia akan menjadi
kesatria besar, ahli siasat perang dan senapati agung.”
No comments:
Post a Comment