Sunday, December 7, 2014

Mahabaratha bab 5 ilmu Gaib Sanjawini

Pada jaman dahulu kala, sering terjadi pertempuran-
pertempuran panjang dan sengit antara para dewata
dengan para raksasa. Mereka berebut ingin menguasai
ketiga dunia. Para dewata dipimpin seorang resi bernama
Wrihaspati yang sangat terkenal karena pengetahuannya
yang mendalam tentang kitab-kitab Weda, sedangkan para
raksasa dipimpin Mahaguru Sukra yang arif bijaksana.
Wrihaspati dan Sukra sama-sama ahli perang yang
sangat termasyhur. Tetapi, Sukra memiliki keunggulan
yang sangat mengerikan, yaitu ilmu gaib Sanjiwini yang
dapat menghidupkan siapa saja yang sudah mati. Jadi,
setiap kali ada raksasa mati di medan pertempuran, Sukra
dapat menghidupkannya lagi. Begitu berkali-kali, sehingga
jumlah mereka tak pernah berkurang dan mereka dapat
melanjutkan perang melawan para dewata. Akibatnya, para
dewata selalu kalah melawan para raksasa.
Akhirnya, para dewata berunding, mencari akal untuk
mengalahkan para raksasa. Diputuskanlah untuk mene-
mui Kacha, putra Wrihaspati, dan meminta bantuannya.
Mereka berharap Kacha bisa menawan hati Sukra dan
membujuknya agar ia diijinkan menjadi murid mahaguru
itu. Dengan menjadi murid Sukra, para dewata berharap
Kacha bisa menguasai ilmu gaib Sanjiwini, dengan cara
mulia atau cara curang, sehingga para dewata bisa terhin-
dar dari kekalahan terus-menerus.
Kacha menyanggupi permintaan para dewata itu. Ia lalu
P
pergi menghadap Mahaguru Sukra yang tinggal di istana
Raja Wrishaparwa, raja para raksasa.
Sampai di hadapan mahaguru itu, Kacha memberi
salam hormat lalu berkata, “Hamba ini cucu Resi Angiras
dan anak Resi Wrihaspati. Hamba telah bersumpah men-
jadi seorang brahmacharin dan ingin menuntut ilmu di
bawah asuhan Yang Mulia Mahaguru.”
Sesuai adat, seorang guru yang bijaksana tidak boleh
menolak murid yang ingin berguru kepadanya. Maka
Mahaguru Sukra berkata, “Kacha, engkau adalah keturu-
nan keluarga baik-baik. Aku terima kau sebagai muridku.
Dan ingatlah, aku terima kau karena aku ingin menun-
jukkan hormatku kepada Resi Wrihaspati, ayahmu.”
Demikianlah, Kacha pun menjadi murid Mahaguru
Sukra. Semua tugas kewajiban yang diberikan oleh guru-
nya dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Salah satu
tugasnya adalah menghibur putri Mahaguru Sukra yang
bernama Dewayani. Mahaguru itu hanya memiliki seorang
anak. Tak heran, Dewayani menjadi tumpahan kasih
sayangnya. Semua keinginannya selalu dikabulkan.
Kacha diperintahkan menghibur Dewayani dengan
menyanyi, menari atau mengajaknya bermain. Lama
kelamaan, Kacha tertarik kepada putri itu. Tetapi, karena
ia telah bersumpah menjadi brahmacharin yang sepenuh-
nya mengabdikan diri untuk belajar ilmu agama di bawah
bimbingan seorang guru dan mengamalkan segala keba-
jikan hidup tanpa menikah, ia menahan diri dan berusaha
keras untuk tidak melanggar sumpahnya.
Sementara itu, para raksasa yang mengetahui bahwa
pemimpin mereka mengambil anak Wrihaspati sebagai
murid merasa cemas dan curiga. Jangan-jangan niat
Kacha tidak tulus berguru. Jangan-jangan sebenarnya
Kacha ingin mencari kesempatan untuk membujuk guru-
nya agar memberikan rahasia ilmu gaib Sanjiwini. Karena
itu, mereka berunding, mencari akal untuk membunuh
Kacha.
Pada suatu hari, seperti biasa Kacha menggembalakan
sapi-sapi gurunya ke padang rumput. Tiba-tiba datang
beberapa raksasa, mereka menyergapnya lalu membunuh-
nya. Mayat Kacha dicincang dan dibiarkan menjadi
makanan anjing.
Sore harinya, sapi-sapi itu pulang ke kandang tanpa
Kacha. Dewayani yang melihat hal itu merasa cemas. Ia
segera menemui ayahnya. Katanya sambil menangis
tersedu-sedu, “Matahari telah terbenam, dan pedupaan
untuk pemujaan malam Ayahanda telah dinyalakan, tetapi
Kacha belum pulang. Sapi-sapi gembalaannya sudah
pulang ke kandang. Ananda khawatir kalau-kalau sesuatu
yang buruk menimpa Kacha. Tolonglah dia, Ayah. Ananda
sangat mencintainya dan tak dapat hidup tanpa dia.”
Mendengar permohonan putri kesayangannya, Maha-
guru Sukra segera mengucapkan mantra. Dengan kesak -
tiannya, ia tahu Kacha sudah mati. Karena itu, untuk
menghidupkan kembali dan memanggil pemuda itu, ia
mengucapkan mantra gaib Sanjiwini. Seketika itu Kacha
hidup kembali dan berada di hadapan mereka dengan
wajah tersenyum. Dewayani bertanya, mengapa ia terlam-
bat pulang. Kacha bercerita, ia diserang dan dibunuh para
raksasa ketika sedang menggembalakan sapi. Tetapi,
bagaimana ia bisa hidup kembali dan berada di hadapan
mereka, ia tidak bisa menerangkannya.
Para raksasa kecewa melihat Kacha hidup kembali.
Mereka terus memata-matai pemuda itu, mencari kesem-
patan untuk membunuhnya.
Suatu hari, Kacha pergi ke hutan, mencari bunga yang
langka untuk Dewayani. Ketika sedang berada di dalam
hutan lebat, ia disergap para raksasa lalu dibunuh. Mayat-
nya dicincang, dibakar, lalu abunya dibuang ke laut.
Berhari-hari Dewayani menunggu, tetapi Kacha tak
pulang-pulang. Akhirnya putri itu menghadap ayahnya
dan mengadukan hal itu kepadanya. Sekali lagi, Resi
Sukra menggunakan ilmu gaib Sanjiwini dan memanggil
Kacha. Pemuda itu hidup kembali.
Para raksasa semakin geram. Ketika ada kesempatan,
untuk ketiga kalinya mereka membunuh Kacha. Dengan
cerdik mereka membakar mayatnya, lalu mencampurkan
abunya ke dalam minuman anggur yang mereka persem-
bahkan kepada Resi Sukra. Tanpa curiga, pemimpin
mereka meminum anggur itu. Sore harinya, sapi-sapi itu
pulang kandang tanpa gembalanya. Sekali lagi Dewayani
menghadap ayahnya, menangis dan memohon agar
ayahnya memanggil dan menghidupkan kembali Kacha.
Resi Sukra menghibur anaknya, “Walaupun Ayah sudah
dua kali menghidupkan Kacha, rupa-rupanya para raksasa
sudah bertekad membunuhnya. Wahai, Anakku, kematian
adalah hal biasa. Sungguh tidak pantas orang yang berjiwa
besar seperti engkau menangisi kematiannya. Nikmatilah
hidupmu yang dilimpahi berkah kegembiraan, kecantikan
dan kemurahan hati serta penuh damai di dunia.”
Dewayani tak merasa terhibur oleh kata-kata ayahnya.
Ia sangat mencintai Kacha. Demikianlah, sejak dunia
tercipta, nasihat resi yang paling bijaksana pun tak pernah
bisa menghilangkan duka hati seorang wanita yang kehi-
langan kekasihnya.
Dewayani berkata, “Kacha, cucu Angiras dan putra
Wrihaspati adalah pemuda yang tidak berdosa. Ia telah
menyerahkan diri untuk melayani kita. Aku mencintainya
sedalam lubuk hatiku. Tetapi sekarang ia mati dibunuh.
Hidupku menjadi hampa dan tanpa cinta. Karena itu,
wahai Ayahanda, aku akan mengikutinya.” Setelah berkata
demikian, Dewayani berpuasa, tidak makan dan tidak
minum.
Resi Sukra tak tega melihat putri kesayangannya ber-
duka. Ia marah kepada para raksasa yang telah mem-
bunuh Kacha. Pembunuhan terhadap brahmana adalah
dosa terkutuk. Mereka pasti akan mendapat balasan yang
setimpal.
Sekali lagi Resi Sukra mempergunakan ilmu gaib Sanji-
wini untuk menghidupkan Kacha. Sekali lagi Kacha hidup
kembali dari anggur yang sudah masuk ke lambung sang
Mahaguru. Tetapi ia tidak bisa keluar karena berada di
tempat yang sangat aneh. Ia hanya dapat menjawab
dengan menyebutkan namanya dan mengatakan tempat ia
berada.
Mendengar itu, Resi Sukra berkata dengan berang, “Hai,
Brahmacharin, bagaimana engkau bisa masuk ke dalam
tubuhku? Apakah karena perbuatan para raksasa? Sung-
guh keterlaluan. Ingin rasanya aku membunuh semua rak-
sasa dan menyatukan diriku dengan para dewata. Tetapi,
sebelum  itu  kulakukan,  ceritakan  dulu  semuanya
kepadaku.”
Dengan susah payah, dari dalam lambung Resi Sukra,
Kacha menceritakan apa yang dialaminya.
Resi mahasakti itu menyahut, “Kini aku, Resi Sukra
yang suci, luhur budi, dan termasyhur, menjadi geram
karena ditipu dengan persembahan minuman anggur.
Karena itu, demi kebajikan dan peri kemanusiaan,
kuperingatkan bahwa kesucian dan keluhuran budi akan
meninggalkan siapa pun yang meminum anggur dengan
tidak bijaksana. Orang yang demikian akan terkutuk.
Demikian pesanku dan hal ini akan dinyatakan dalam
kitab-kitab  suci  sebagai  larangan  yang  tak  boleh
dilanggar.”
Setelah berkata demikian, Resi Sukra memandang
Dewayani sambil berkata, “Anakku sayang, sekarang
engkau harus memilih. Kalau kau ingin Kacha hidup
kembali, ia harus keluar dari dalam tubuhku dan itu
berarti kematian bagiku. Ia hanya bisa hidup di atas
kematianku.”
Dewayani menangis tersedu-sedu sambil berkata, “Oh
Dewata, sungguh pilihan yang tak mungkin kupilih. Aku
sangat menyayangi Ayahanda dan Kacha. Jika salah satu
dari kalian mati, aku akan mati. Aku tak sanggup hidup
tanpa kalian berdua.”
Sambil mencari jalan untuk menyelesaikan masalah
berat itu, Resi Sukra berkata kepada Kacha, “Wahai putra
Wrihaspati, sekarang aku tahu apa sesungguhnya niatmu
datang berguru kepadaku. Kau akan memperoleh apa yang
kauinginkan. Aku akan menghidupkan kau kembali demi
Dewayani dan demi dia pula aku tidak boleh mati. Satu-
satunya jalan adalah mengajarkan ilmu gaib Sanjiwini
kepadamu. Dengan menguasainya, kau akan bisa menghi-
dupkan aku kembali meskipun tubuhku hancur setelah
mengeluarkan engkau. Berjanjilah untuk menggunakan
ilmu gaib Sanjiwini yang akan kuajarkan kepadamu untuk
menghidupkan aku kembali, agar Dewayani tidak berduka
atas kematian salah satu dari kita.”
Dari dalam lambung gurunya, Kacha mengucapkan
janjinya.
Demikianlah, Mahaguru Sukra memberikan rahasia
ilmu gaib Sanjiwini kepada Kacha. Seketika itu juga Kacha
keluar dari dalam tubuh gurunya, sementara sang Resi
langsung rubuh, wafat dengan tubuh hancur berkeping-
keping. Kacha memenuhi janjinya. Ia segera sujud di
depan jenazah gurunya dan mempergunakan ilmu gaib
Sanjiwini. Katanya, “Guru yang ikhlas membagi ilmu
kepada muridnya ibarat seorang ayah yang mengasihi
putranya. Karena aku keluar dari tubuhmu, maka aku
adalah anakmu juga.”
Beberapa tahun lamanya Kacha meneruskan hidupnya
sebagai murid Resi Sukra, sampai tiba waktunya untuk
kembali ke dunia para dewata. Ketika saat itu tiba, ia
mohon diri kepada gurunya. Sang Resi merestuinya dan
mengijinkannya pergi. Kemudian Kacha minta diri kepada
Dewayani.
Putri jelita ini dengan hormat berkata, “Wahai cucu
Angiras, kau telah menawan hatiku dengan kesucian hati,
hidupmu yang tidak bercacat, kemajuanmu dalam menun-
tut ilmu, dan asal-usulmu yang agung. Sejak lama aku
mencintaimu dengan sepenuh hati, walaupun engkau tetap
teguh menjalankan sumpahmu sebagai brahmacharin.
Tetapi, sudah selayaknya sekarang engkau menerima
cintaku dan sudi membuatku bahagia dengan menika-
hiku.”
Kacha menjawab, “Oh, Dewayani yang suci, engkau
adalah putri mahaguruku yang selalu kusegani. Aku hidup
kembali setelah keluar dari tubuh ayahmu. Karena itu, aku
kini menjadi saudaramu seayah. Sungguh tidak pantas
jika engkau memintaku agar sudi mengawinimu.”
Dewayani berkata, “Engkau anak Wrihaspati yang patut
kuhormati dan bukan anak ayahku. Aku yang menyebab-
kan kau bisa hidup kembali, karena aku mencintaimu dan
mengharapkan engkau menjadi suamiku. Tidak pantas
engkau meninggalkan aku yang tidak berdosa ini tanpa
memberiku kesempatan untuk mengabdi kepadamu.”
Kacha  menjawab,  “Jangan mencoba membujukku
untuk melakukan hal yang tidak benar. Engkau sungguh
jelita, dan semakin jelita dalam keadaan marah seperti
sekarang, tetapi aku adalah saudaramu. Abdikanlah
hidupmu untuk kebajikan dalam bimbingan ayahmu,
Mahaguru Sukra. Jalani hidupmu seperti dahulu. Berdoa-
lah dan relakan aku pergi.” Setelah berkata demikian,
dengan lembut Kacha melepaskan diri dari pegangan
Dewayani dan kembali ke dunia para dewata.
Sepeninggal Kacha, Dewayani selalu sedih dan murung.
Tak ada yang bisa menghiburnya, tidak juga Mahaguru
Sukra, ayahnya.

No comments:

Post a Comment