Friday, December 5, 2014

Mahabartha BAB 3 Dewabrataha bersumpah sebagai Bhisma

Dengan hati bahagia Raja Santanu menyambut putra-
nya dan membawanya ke istana. Anak yang dikelilingi
aura keagungan dan menunjukkan watak-watak kesatria
sejati itu dinobatkannya menjadi putra mahkota. Dewa-
brata diangkat sebagai yuwaraja atau putra mahkota yang
bertugas mendampingi Raja dalam memerintah. Dia pula
yang akan mewarisi kerajaan ayahnya, kelak setelah ayah-
nya mengundurkan diri dengan bijaksana.
Empat tahun berlalu. Pada suatu hari, Raja Santanu
berjalan-jalan di tepi Sungai Yamuna. Tiba-tiba angin
berhembus dan terciumlah olehnya keharuman yang
memenuhi udara. Raja mencari sumber keharuman yang
suci itu dan melihat seorang gadis cantik jelita, secantik
bidadari kahyangan, duduk melamun di tepi sungai.
Sejak Dewi Gangga meninggalkannya, Raja Santanu
selalu berusaha menahan hasrat dan hawa nafsunya dan
berusaha  hidup  dengan  sepenuhnya  mengutamakan
kebajikan. Tetapi, kecantikan wajah dan keharuman tubuh
gadis itu membuatnya lupa akan tapabrata-nya. Hatinya
bergejolak, dilanda cinta asmara yang meluap-luap. Raja
Santanu meminang gadis itu agar mau menjadi permaisu-
rinya.
“Wahai gadis jelita, siapakah namamu dan dari mana
asalmu? Aku terpesona oleh kecantikanmu. Maukah eng-
kau kupersunting menjadi istriku?” kata sang Raja.
Berkatalah sang juwita, “Daulat Tuanku, nama hamba
D
Satyawati. Hamba seorang penangkap ikan. Ayah hamba
kepala kampung nelayan di sini. Hamba persilakan Paduka
membicarakan permintaan itu dengan ayah hamba. Semo-
ga dia menyetujuinya.”
Satyawati mengantarkan sang Raja ke rumah orangtua-
nya di kampung nelayan yang agak jauh dari tempatnya
mencari ikan. Sampai di rumah, sang Raja dipersilakan
untuk mengutarakan niatnya.
Kata Raja Santanu, “Wahai Bapak nelayan, aku
temukan putrimu yang jelita ini di tepi sungai sedang
mencari ikan. Aku sangat terpesona oleh kecantikan dan
tutur katanya yang lembut. Aku ingin mempersunting dia
menjadi istriku dan memboyongnya ke istanaku.”
Ayah gadis itu orang yang cerdik. Ia menyembah Raja
Santanu dan berkata, “Daulat Tuanku. Memang sudah
waktunya anak hamba menikah dengan seorang lelaki,
seperti gadis-gadis lain. Paduka Tuanku adalah raja yang
mulia dan berkedudukan jauh di atas dia. Hamba tidak
keberatan jika anak hamba Paduka persunting. Tetapi,
sebelum Satyawati hamba serahkan, Paduka harus
berjanji.”
Kata Raja Santanu, “Apa pun syarat yang kauajukan,
aku akan memenuhinya.”
Kepala kampung nelayan itu memohon, “Jika anak
hamba melahirkan seorang bayi lelaki, Paduka harus
menobatkannya menjadi putra mahkota dan kelak setelah
Paduka mengundurkan diri, Paduka harus mewariskan
kerajaan ini kepadanya.”
Meskipun tergila-gila pada anak gadis kepala kampung
nelayan itu, namun Raja Santanu tak dapat menyanggupi
persyaratan itu. Ia sadar, jika dia memenuhi semua syarat
yang diajukan ayah si gadis, berarti ia harus menyingkir-
kan Dewabrata yang sudah dinobatkannya menjadi yuwa-
raja dan berhak atas takhta kerajaannya kelak. Terlalu
besar yang harus ia pertaruhkan untuk mempersunting
Satyawati. Sungguh tidak pantas dan memalukan, jika ia
menuruti kata hatinya. Setelah bergulat dengan perasa-
annya, Raja Santanu kembali ke istananya di Hastinapura.
Perasaannya campur aduk, sedih karena mungkin harus
menyingkirkan Dewabrata, senang karena sedang jatuh
cinta. Tetapi, sang Raja menyimpan rahasianya rapat-
rapat. Tak seorang pun diberi tahu akan hal itu. Raja lebih
banyak mengurung diri di ruang peraduannya dan
melamun. Tugas-tugas kerajaan lebih banyak dilakukan
oleh Dewabrata.
Mengetahui hal itu, suatu hari Dewabrata bertanya
kepada ayahnya, “Ayahanda mempunyai segala sesuatu
yang mungkin diinginkan oleh seorang manusia. Tetapi
mengapa Ayahanda kelihatan begitu murung? Apa sebab-
nya Ayahanda berduka demikian rupa? Wajah Paduka
seakan-akan menyimpan rahasia dan menanggung beban
berat.”
Jawab Baginda, “Anakku sayang, apa yang kaukatakan
itu benar. Sesungguhnya Ayahanda sedang tersiksa oleh
perasaan duka dan cemas. Engkau putraku satu-satunya.
Engkau selalu sibuk mengurus kerajaan dan melatih para
prajurit agar mahir berperang. Hidup di dunia ini tidak
pasti dan tidak kekal. Perang dan damai silih berganti
tiada henti. Jika kau mati tanpa punya anak, maka garis
keturunan kita akan putus, habis.
“Sudah tentu seorang anak —apalagi anak tunggal—
sama berharganya dengan seratus anak. Para tua-tua
cendekia yang mahir akan makna kitab-kitab suci berkata,
‘Di mayapada atau di dunia ini, punya anak hanya seorang
sama dengan tidak punya anak sama sekali’. Sungguh
sayang jika kelangsungan hidup keluarga dan keturunan
kita hanya bergantung pada seorang saja. Sebenarnya,
Ayahanda memikirkan kelangsungan garis keluarga dan
keturunan kita sampai beratus-ratus tahun kelak. Itulah
yang membuatku gelisah dan berduka.”
Raja Santanu berusaha keras untuk menyembunyikan
isi hatinya yang sesungguhnya karena ia malu pada putra-
nya. Dewabrata yang bijaksana dan setia kepada ayahnya
menyadari hal itu. Ia tidak mau mendesak agar ayahnya
mengungkapkan hal-hal yang dirahasiakannya dan menye-
babkannya berlaku seperti itu, selalu murung dan gelisah.
Dewabrata kemudian bertanya kepada sais kereta
ayahnya. Barulah ia tahu bahwa belum lama ini ayahnya
berkenalan dengan seorang gadis cantik penangkap ikan di
tepi Sungai Yamuna, bahwa ayahnya kemudian meminang
gadis itu, dan bahwa ayahnya tak sanggup memenuhi
syarat-syarat yang diajukan ayah si gadis.
Mendengar itu, Dewabrata memutuskan untuk mene-
mui kepala kampung nelayan itu dan meminang putrinya
atas nama ayahnya.
Kepala kampung nelayan itu berpegang teguh pada
pendiriannya, “Wahai sang Putra Mahkota, sesungguhnya
anak hamba pantas menjadi permaisuri ayahanda Paduka.
Karena itu, sungguh wajar jika kelak anaknya dinobatkan
menjadi raja, menggantikan ayahanda Paduka. Apakah
Tuanku sependapat dengan hamba?
“Hamba tahu, Paduka telah dinobatkan menjadi yuwa-
raja dan dengan sendirinya kelak akan menggantikan
beliau. Demi anak hamba, jangan sampai hal itu terjadi.”
Kata Dewabrata, “Baiklah. Ingat baik-baik kata-kataku
ini: Jika anakmu melahirkan seorang anak lelaki, anak itu
kelak akan dinobatkan menjadi raja. Aku rela turun takhta
demi keinginan ayahanda Raja Santanu untuk melanjut-
kan keturunannya.”
Mendengar kata-kata Dewabrata, nelayan itu bersujud,
“Wahai Putra Mahkota yang paling bijaksana di antara
semua keturunan Bharata, apa yang Tuan lakukan
sungguh berani dan belum pernah dilakukan orang
sebelumnya. Tuanku seorang pahlawan besar. Silakan
Tuanku membawa anak hamba untuk dipersembahkan
kepada ayahanda Paduka.
“Hamba yakin, Tuanku pasti akan memenuhi janji.
Tetapi, apa yang dapat hamba pakai sebagai pegangan
yang menguatkan harapan hamba? Bagaimana putra-
putra yang lahir sebagai keturunan Tuanku akan rela
menyerahkan hak-hak mereka sebagai ahli waris kerajaan?
Putra-putra  Tuanku  pasti  akan  menjadi  pahlawan-
pahlawan besar seperti Tuanku sendiri. Tuanku pasti sulit
menjelaskannya kepada mereka. Pasti sulit menghalangi
keinginan mereka untuk kembali memiliki kerajaan —
entah dengan kekerasan atau secara baik-baik. Inilah
keraguan hati hamba yang selalu membuat hamba cemas.”
Mendengar pertanyaan yang sangat sulit dijawab itu,
Dewabrata dengan penuh niat suci memutuskan untuk
melepaskan diri dari segala sesuatu yang bersifat duniawi,
demi ayahnya.
Kemudian ia bersumpah di hadapan ayah si gadis
penangkap ikan, “Aku berjanji tidak akan kawin. Dengan
demikian, aku takkan pernah punya anak. Seluruh hidup-
ku akan kupersembahkan untuk berbakti pada rakyat dan
kerajaan dan untuk kesucian.”
Ketika Dewabrata mengucapkan sumpah sucinya,
berguguranlah kembang-kembang harum suci menaburi
kepalanya, sementara di angkasa bergema suara merdu,
“Bhisma... bhisma... bhisma....”
Kata bhisma menyatakan bahwa seseorang telah meng-
ucapkan sumpah yang berat dan suci dan berjanji akan
benar-benar  melaksanakannya.  Dewabrata  memenuhi
syarat-syarat itu.
Sejak itu, Dewabrata melepas gelar yuwaraja dan tidak
lagi berkedudukan sebagai putra mahkota. Kemudian dia
digelari dengan nama Bhisma, sebagai penghormatan akan
kesetiaannya kepada ayahnya dan keteguhan hatinya yang
suci.
Demikianlah, Dewabrata putra Dewi Gangga membo-
yong Satyawati ke Hastinapura untuk diserahkan kepada
ayahnya, Baginda Raja Santanu.
Dari perkawinannya dengan Satyawati, Raja Santanu
mempunyai dua putra, Chitranggada dan Wichitrawirya.
Chitranggada meninggal lebih dulu daripada adiknya,
tanpa meninggalkan seorang putra pun; sedangkan Wichi-
trawirya mempunyai dua putra, yaitu Dritarastra dan
Pandu dari dua permaisurinya, Ambika dan Ambalika.
Dritarastra berputra seratus orang; mereka dikenal
sebagai Kaurawa. Pandu berputra lima orang, mereka
termasyhur sebagai Pandawa. Adapun Bhisma, sebagai
kakek-paman dan sesepuh anak-cucu Raja Santanu,
hidup sampai usia tua, disegani dan dihormati oleh
seluruh sanak keluarganya. Kelak Bhisma meninggal
sebagai senapati dalam perang besar Bharatayuda di
padang Kurukshetra.

No comments:

Post a Comment