Monday, December 29, 2014

Mahabarata bab 7 Yayati

Maharaja Yayati adalah putra Raja Nahusha dan salah
seorang nenek moyang Pandawa. Ia tidak pernah
kalah dalam peperangan. Ia selalu mengikuti petunjuk-
petunjuk kitab suci Sastra, menyembah Tuhan dan
menghormati nenek moyang dengan pengabdian yang tak
pernah putus. Ia menjadi masyhur karena pemerintahan-
nya ditujukan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya,
ia cepat menjadi tua karena kutuk-pastu Mahaguru Sukra
yang diterimanya karena ia bersikap tidak adil terhadap
Dewayani, istrinya. Yayati menjadi tua renta dengan cepat.
Semangat hidupnya hancur, ia merasa malu dan terhina.
Ia tak mampu lagi mereguk kenikmatan dunia, padahal
gairah nafsunya untuk merasakan madu asmara masih
menggebu-gebu.
Pada suatu hari, Yayati memanggil kelima putranya.
Setelah mereka menghadap, ia berkata dengan lembut,
meminta mereka agar sudi menolong ayah mereka.
Kata Yayati, “Kutuk-pastu telah dijatuhkan oleh kakek-
mu Mahaguru Sukra, membuatku tiba-tiba menjadi tua.
Tahu-tahu aku menjadi tua sebelum waktunya, padahal
aku belum puas mengecap kenikmatan duniawi.
“Ketahuilah, hai putra-putraku, sejak muda aku hidup
dengan mengekang hawa nafsuku, menolak semua kese-
nangan duniawi walaupun kesenangan itu wajar dan tidak
melanggar aturan kitab-kitab suci. Setelah menikah de-
ngan ibu kalian, belum lama mengecap kebahagiaan, tahu-
M
tahu aku menjadi tua. Sebab itu, salah seorang dari eng-
kau hendaknya membantuku memikul bebanku, mengam-
bil ketuaanku dan memberikan kemudaanmu padaku.
Siapa di antara kamu yang bersedia menolongku akan
kuangkat menjadi raja negeri ini. Aku ingin menikmati
hidupku sebagai orang muda yang penuh gairah.”
Pertama-tama ia bertanya kepada putra sulungnya.
Putra sulungnya berkata, “Oh, Ayahanda Raja, semua
perempuan dan dayang-dayang akan mencemoohkan aku
kalau aku menjadi tua dalam umurku sekarang. Aku tidak
sanggup menolong Ayahanda. Tanyailah adik-adikku saja.”
Yayati bertanya kepada putranya yang kedua. Dengan
lemah lembut pangeran itu menolak, “Ayahanda, Paduka
menyuruhku menjadi tua, itu berarti Paduka menghancur-
kan seluruh kekuatan dan ketampananku, dan seperti
yang kutahu, itu juga kebajikan. Aku tidak mampu meng-
hadapi hal ini.”
Selanjutnya, ketika giliran ditanya, putra yang ketiga
menjawab, “Seorang lelaki tua tidak akan mampu naik
kuda atau naik gajah dan bicaranya gemetar. Apa yang
masih bisa kulakukan nanti jika tiba-tiba aku menjadi
renta? Aku tidak sanggup.”
Maharaja Yayati marah mendengar penolakan ketiga
putranya. Susah payah dia berusaha mengendalikan diri,
menahan amarahnya, dan mencoba berharap pada putra-
nya yang keempat. Ia berkata, “Maukah engkau mengambil
ketuaanku? Maukah kau menukar kemudaanmu dengan
ketuaanku, untuk sementara saja? Tidak lama. Ayah akan
segera menukarnya kembali. Ayah akan mengambil kem-
bali ketuaan itu dan itu akan membuatmu menjadi muda
lagi.”
Tetapi putranya yang keempat meminta maaf karena ia
tidak bisa melakukan itu. Putra keempat itu tahu, sebagai
lelaki tua renta nanti, hidupnya akan bergantung pada
orang lain. Ia akan terpaksa selalu meminta bantuan orang
lain karena tak mampu membersihkan badannya sendiri,
misalnya. Karena itu, betapapun sangat mencintai ayah-
nya, dia tak sanggup memenuhi permintaannya.
Perasaan Yayati kacau. Ia sedih, marah, dan kesal
mendengar penolakan keempat putranya. Tetapi, masih
ada satu harapan, yaitu putranya yang kelima. Putra
bungsunya itu belum pernah menolak permintaan atau
perintahnya. Katanya, “Engkau harus menolong ayahmu.
Aku hidup sengsara karena ketuaanku ini, karena kulitku
yang keriput, karena rambutku yang memutih, dan karena
ketidakmampuanku. Semua ini gara-gara kutuk-pastu
kakekmu, Mahaguru Sukra. Cobaan ini terlalu berat bagi-
ku! Aku ingin menikmati masa mudaku beberapa waktu
lagi. Maukah engkau mengambil ketuaanku untuk semen-
tara? Setelah cukup puas, aku akan segera mengembali-
kan kemudaanmu. Aku akan terima ketuaanku lagi
dengan senang hati. Janganlah engkau menolak permin-
taanku seperti kakak-kakakmu.”
Puru, putra bungsu Yayati yang sangat menyayangi
ayahnya, berkata, “Ayahku, dengan senang hati aku akan
memberikan kemudaanku kepadamu agar Ayahanda
terlepas dari cengkeraman segala kedukaan dan kesusa-
han dalam memerintah kerajaan. Ambillah kemudaanku
dan berbahagialah Ayahanda!”
Mendengar jawaban itu, Yayati memeluk Puru. Ajaib!
Begitu menyentuh putranya, seketika itu juga dia menjadi
muda kembali. Sebaliknya, Puru tiba-tiba berubah menjadi
tua.
Yayati memenuhi janjinya. Takhta kerajaan ia serahkan
kepada Puru yang kemudian termasyhur sebagai raja yang
memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sementara itu, Yayati hidup lama dan menikmati
kehidupan sebagai orang muda. Ia reguk segala kenikma-
tan duniawi dengan gairah yang tak pernah terpuaskan. Ia
pergi ke Taman Kubera dan tinggal di sana selama
bertahun-tahun bersama wanita-wanita cantik dan para
bidadari. Bertahun-tahun ia melampiaskan hawa nafsunya
dan menuruti semua keinginannya, tetapi tak pernah
merasa puas. Di balik itu semua, ia merasa hidupnya
hampa dan tak berarti karena hanya mengejar kenik-
matan. Akhirnya ia sadar, semua itu sia-sia.
Yayati kembali ke kerajaannya lalu menemui Puru.
Kepada putranya itu ia berkata, “Anakku sayang, sekarang
ayahmu sadar. Ternyata nafsu berahi tidak dapat dilawan
dengan  melampiaskannya.  Ibarat  memadamkan  api
dengan minyak. Padahal aku sudah mendengar dan mem-
baca ajaran itu sejak muda, tetapi tidak menyadarinya.
Baru setelah menjalani kehidupan serba bebas tanpa
kekangan, Ayah menjadi sadar. Tak satu pun keinginan
duniawi, seperti gandum, emas, sapi, perempuan, dan lain-
lain, dapat membuat manusia merasa puas. Tak satu pun
dapat membuat manusia merasa damai. Kita hanya dapat
mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang
mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Kete-
nangan jiwa dan perasaan damai yang sejati adalah
karunia mulia dari Yang Maha Kuasa.
“Wahai Puru putraku, ambillah kembali kemudaanmu
dan perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana dan penuh
kebajikan.”
Setelah berkata demikian, Yayati memeluk putranya.
Seketika itu juga ia berubah menjadi tua renta dan Puru
kembali menjadi muda. Puru meneruskan pemerintahan-
nya dengan adil dan bijaksana.
Raja Puru mempunyai putra bernama Dushmanta, yang
kelak kawin dengan Syakuntala, putri angkat Resi Kanwa.
Anak Syakuntala dan Dushmanta dinamai Bharata. Kelak,
anak keturunan Bharata menjadi wangsa yang termasy-
hur.
Setelah mendapatkan kembali ketuaannya, Yayati pergi
ke hutan. Di sana ia bertapa dan menjalankan ajaran-
ajaran suci hingga tiba waktunya ia kembali ke surga.

No comments:

Post a Comment