Saturday, December 6, 2014

Mahabaratha bab 4 Amba, Ambika dan Ambalika

Chitranggada, putra Satyawati, tewas dalam pertempu-
ran melawan gandarwa. Karena ia tewas dalam pepe-
rangan tanpa memiliki anak, maka Wichitrawirya, adiknya,
dinobatkan menjadi raja menggantikannya. Tetapi, karena
waktu naik takhta dia belum dewasa, tampuk pemerin-
tahan untuk sementara dipegang oleh kakaknya dari lain
ibu, yaitu Dewabrata alias Bhisma, sampai dia dewasa.
Ketika Wichitrawirya telah cukup dewasa untuk meni-
kah, Bhisma mencarikan calon istri yang pantas bagi
adiknya itu. Ia mendengar bahwa tiga putri Raja Kasi akan
memilih calon suami menurut adat-istiadat kaum bang-
sawan, yaitu dengan mengadakan sayembara. Bhisma me-
mutuskan mengikuti sayembara itu agar bisa memboyong
putri-putri Raja Kasi untuk adiknya.
Pada hari sayembara, di alun-alun Kerajaan Kasi ber-
kumpul putra-putra mahkota dari Kerajaan Kosala,
Wangsa, Pundra, Kalingga dan lain-lain. Mereka semua
berminat mempersunting putri-putri Raja Kasi yang sangat
terkenal kecantikan dan keanggunannya. Karena ada tiga
putri yang diperebutkan, sayembara itu diselenggarakan
secara besar-besaran. Meskipun datang dengan semangat
tinggi, banyak juga putra mahkota yang merasa cemas,
takut menanggung malu jika gagal memenangkan sayem-
bara; lebih-lebih ketika melihat Bhisma hadir di antara
mereka.
Bhisma terkenal sakti dan mahir menggunakan segala
C
macam senjata perang. Kecuali itu, karena kesetiaan dan
keteguhan hatinya, semua orang segan padanya.
Semula para putra mahkota menyangka Bhisma datang
hanya untuk menyaksikan jalannya sayembara karena
pangeran itu telah bersumpah takkan pernah menikah.
Tetapi, ketika mengetahui bahwa Bhisma mengikuti
sayembara, sangatlah kecut hati mereka.
Tak ada yang menyangka bahwa Bhisma datang untuk
maksud yang sama. Dan tak seorang pun tahu bahwa ia
datang demi saudaranya yang lebih muda, Wichitrawirya.
Para putra mahkota itu berbisik-bisik, membicarakan
Bhisma. Seseorang berkata, “Dia memang keturunan
Bharata yang sakti dan bijaksana. Sayang sekali, ia lupa
diri. Tak sadar bahwa sudah tua dan lupa akan sum-
pahnya untuk hidup sebagai brahmacarin yang seumur
hidup tidak akan kawin. Untuk apa dia ikut sayembara
ini? Dasar pangeran tak tahu malu!”
Putri-putri Kasi yang hendak memilih calon suami
mereka sama sekali tak menghiraukan kehadiran Bhisma.
Mereka menganggapnya pemuda tua yang tidak menarik.
Mereka berbisik-bisik mengolok-olok jagoan tua itu sambil
membuang muka, tak mau memandangnya.
Bhisma, yang merasa diejek dan dipermainkan, menjadi
berang. Ditantangnya semua putra mahkota untuk berpe-
rang-tanding dengannya. Tak ada yang berani menolak
meskipun sadar semua takkan mampu mengalahkan
kesatria tua itu. Tak ada yang mau dipermalukan di depan
putri-putri jelita idaman mereka.
Satu per satu mereka berperang-tanding melawan
Bhisma. Semua kalah. Segera setelah mengalahkan semua
putra mahkota, Bhisma menyambar ketiga putri jelita itu
dan melarikan mereka dengan keretanya yang termasyhur.
Begitu kencang laju kereta itu hingga seakan-akan mereka
terbang meninggalkan gelanggang sayembara, menuju
Hastinapura. Belum lagi jauh dari arena sayembara Kera-
jaan Kasi, mereka dihadang Raja Salwa dari Kerajaan
Saubala. Raja itu menantang Bhisma untuk bertarung.
Sebenarnya, Raja Salwa sudah menjalin kasih dengan
Amba dan Amba yang jelita telah memilih Salwa sebagai
calon suaminya. Setelah perkelahian sengit, Salwa takluk.
Menyerah. Bhisma mengangkat senjata, hendak membu-
nuh, tetapi dicegah oleh Amba. Karena permintaan putri
itu, Bhisma urung membunuh Salwa.
Setibanya di Hastinapura, Bhisma segera mempersiap-
kan pernikahan Wichitrawirya. Ketika tamu-tamu mulai
berdatangan, Amba berkata kepada Bhisma dengan nada
mencemooh, “Wahai putra Dewi Gangga yang masyhur,
Tuan pasti tahu yang terkandung dalam kitab-kitab suci
yang kita hormati dan muliakan. Seharusnya Tuan juga
tahu bahwa aku telah memilih Salwa, Raja Kerajaan
Saubala, untuk menjadi suamiku. Tuan memaksa diriku
menerima pernikahan ini. Bila Tuan mengerti akan hal ini,
bertindaklah sesuai dengan ajaran kitab suci.”
Sementara pernikahan Ambika dan Ambalika, adik-adik
Amba, dengan Wichitrawirya berlangsung dengan baik dan
penuh kebesaran, Bhisma mengantarkan Amba kepada
Raja Salwa.
Hal itu dilakukan Bhisma karena memahami maksud
putri itu dan demi menaati apa yang tertulis dalam kitab
suci. Diiringkan sejumlah pengawal kehormatan yang
pantas, diantarkannya Amba ke istana Kerajaan Saubala.
Sampai di sana, Bhisma menghadap Raja Salwa dan
menyerahkan Amba kepadanya. Segera sesudah itu,
pangeran tua itu kembali ke Hastinapura.
Dengan perasaan gembira dan mesra, Amba mencerita-
kan semua yang telah terjadi kepada Raja Salwa. Setelah
itu ia berkata, “Sejak semula hamba telah tetapkan hati
untuk mengabdikan diri, lahir dan batin kepada Tuanku.
Pangeran Bhisma menerima penolakan hamba dan meng-
antarkan hamba ke hadapan Tuanku. Jadikanlah hamba
permaisuri Tuanku menurut ajaran kitab-kitab suci
sastra.”
Maharaja Salwa menjawab, “Bhisma telah menaklukkan
aku dan telah melarikan engkau di depan umum. Aku
merasa sangat terhina. Karena itu, aku tidak bisa mene-
rima engkau menjadi istriku. Sebaiknya engkau kembali
kepada Bhisma dan lakukan apa yang ia perintahkan.”
Setelah berkata demikian, Raja memanggil beberapa
pengawal dan memerintahkan mereka untuk mengawal
Amba kembali kepada Bhisma.
Sampai di Hastinapura, Amba menceritakan apa yang
telah terjadi kepada Bhisma. Pangeran tua itu kemudian
membujuk adiknya agar mau menikahi Amba. Tetapi,
Wichitrawirya tegas-tegas menolak, karena putri itu telah
memberikan hatinya kepada orang lain.
Penolakan Wichitrawirya merupakan beban berat bagi
Bhisma, karena dia sendiri telah bersumpah tidak akan
pernah menikah. Tak mungkin dia melanggar sumpahnya
sendiri. Lebih-lebih karena ia keturunan bangsawan yang
terhormat. Ia iba kepada Amba, tetapi tak kuasa berbuat
apa-apa. Beberapa kali dicobanya membujuk Wichitra-
wirya, tetapi adiknya itu tetap pada pendiriannya. Tak ada
jalan lain. Ia terpaksa menasihati Amba agar kembali lagi
kepada Salwa.
Hal itu sungguh sangat berat bagi Amba. Karena tak
berani kembali ke Kerajaan Saubala, selama beberapa
waktu Amba terpaksa bersembunyi di Hastinapura. Akhir-
nya dengan perasaan berat, Amba mencoba kembali kepa-
da Raja Salwa.
Sekali lagi, dengan suara yang keras dan tegas, Raja
Salwa menolak Amba.
Demikianlah, Amba yang jelita kemudian terpaksa mele-
watkan hari-harinya dalam kemurungan. Hampir enam
tahun lamanya ia hidup tanpa cinta, penuh duka, dan
tanpa harapan. Parasnya yang segar dan jelita menjadi
layu dan kisut. Hatinya yang menderita berubah, berisi
kepahitan dan kebencian kepada Bhisma — yang menurut-
nya telah menghancurkan hidupnya. Sia-sia ia berusaha
mencari seorang kesatria tangguh untuk bertarung mela-
wan Bhisma dan kalau bisa ... sekaligus membunuh pa-
ngeran tua itu. Tak seorang kesatria pun berani bertarung
dengan Bhisma yang termasyhur sakti dan perkasa.
Akhirnya, Amba pergi ke hutan dan bertapa dengan
sangat tekun. Ia memohon kepada Dewa Subrahmanya
agar membantunya menghancurkan Bhisma. Dewa itu
menghadiahkan seuntai kalung bunga teratai segar yang
sudah diberi restu-pastu. Orang yang berkalung bunga
teratai segar itu akan menjadi sakti dan dengan kesak-
tiannya ia akan mampu mengalahkan Bhisma.
Amba menerima kalung bunga teratai itu. Kemudian
sekali lagi ia mencari seorang kesatria yang mau memakai
kalung bunga hadiah Dewa Subrahmanya, dewa sakti
berwajah enam. Sayang sekali, tak seorang kesatria pun
mau menerimanya. Tak seorang kesatria pun berani mela-
wan Bhisma yang termasyhur kesaktiannya. Kemudian
Amba menghadap Raja Drupada. Raja ini juga menolak-
nya. Akhirnya, Amba meninggalkan kalung bunga itu di
pintu gerbang istana Raja Drupada lalu pergi mengembara
ke dalam hutan.
Kepada beberapa pertapa yang ditemuinya di hutan,
Amba menceritakan pengalamannya yang menyedihkan
itu. Mereka menasihatinya agar menghadap Parasurama.
Amba menuruti nasihat mereka, ia pergi menghadap
Parasurama.
Mendengar cerita Amba, Parasurama merasa kasihan.
Ia berkata, “Wahai anakku yang jelita, apa yang kau-
kehendaki sekarang? Aku dapat meminta Salwa untuk
mengawinimu jika engkau mau.”
Amba menjawab dengan hati teguh, “Tidak, saya tidak
menginginkan itu lagi. Saya tak punya hasrat lagi untuk
menikah atau mencari kebahagiaan. Satu-satunya yang
saya inginkan dalam hidup ini adalah membalas dendam
kepada Bhisma. Saya bersumpah, yang saya inginkan tak
lain hanyalah kematian Bhisma.”
Parasurama mendengarkan kata-kata Amba dengan
penuh perhatian. Ia sendiri amat membenci golongan kesa-
tria. Karena itu, ia memutuskan untuk menolong Amba
dan bertarung melawan Bhisma. Pertempuran mereka
sangat hebat dan berlangsung lama. Dua-duanya setara
kesaktian dan kemahirannya dalam olah senjata. Tetapi,
akhirnya  Parasurama  harus  mengakui  keunggulan
Bhisma.
Setelah dikalahkan Bhisma, ia menemui Amba dan
berkata, “Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk
menaklukkan dan menghancurkan Bhisma, tetapi aku
kalah. Satu-satunya jalan bagimu adalah kembali kepada-
nya dan menyerahkan nasibmu kepadanya. Hanya itu
yang dapat kaulakukan.”
Dengan membawa duka, sakit hati, dendam, dan
kebencian, akhirnya Amba pergi ke kaki Gunung Himalaya
untuk bertapa. Dengan khusyuk ia bertapa dan terus-
menerus melakukan penyucian diri agar dapat menerima
karunia Batara Shiwa karena di dunia tak ada lagi
manusia yang bisa menolongnya.
Setelah lama bertapa dengan sangat khusyuk, Batara
Shiwa muncul di hadapannya dan memberinya restu:
‘dalam inkarnasinya yang akan datang, Amba dapat
membunuh Bhisma’.
Amba tidak sabar menunggu hingga masa inkarnasinya
yang akan datang. Karena itu, ia membuat api unggun
besar dan melakukan satya, mengorbankan diri dengan
terjun ke dalam api yang berkobar-kobar. Dengan satya,
badannya akan hangus terbakar.
Atas pertolongan Batara Shiwa, Amba berinkarnasi,
terlahir kembali sebagai putri Raja Drupada. Ajaib!
Beberapa tahun kemudian ia menemukan kalung bunga
teratai yang dahulu ia gantungkan di pintu gerbang istana
Raja Drupada. Kalung bunga itu masih elok dan segar,
seakan-akan tak pernah disentuh orang. Maka dikalung-
kanlah untaian bunga itu di lehernya. Melihat perbuatan-
nya yang gegabah itu, Raja Drupada menjadi cemas karena
ingat bagaimana dahulu Amba mengalungkan untaian
bunga itu di situ sebelum meninggalkan istana Hastina-
pura dengan hati penuh dendam. Putri yang mendendam
itu kemudian bertapa di hutan yang lengang dan sunyi.
Begitulah, putri Raja Drupada mengambil untaian
bunga itu dan mengalungkannya di lehernya. Ajaib! Lama
kelamaan, kelamin putri Raja Drupada itu berubah. Ia
menjadi seorang laki-laki dan kemudian termasyhur
dengan nama Srikandi, artinya “pahlawan perang.”
Kelak dalam perang besar Bharatayuda, Srikandi
bertempur di depan kereta Arjuna melawan Bhisma. Dalam
perang di padang Kurukshetra itu, Bhisma tahu benar
bahwa Amba telah lahir kembali dalam wujud Srikandi,
yakni perempuan yang berubah menjadi laki-laki dan
karena penampilannya yang tetap seperti wanita, menurut
tata krama, aturan perang dan sumpahnya sendiri, dalam
keadaan apa pun Bhisma tidak boleh melawannya. Dalam
keadaan apa pun Bhisma tidak akan bertempur melawan
Srikandi yang termasyhur dan gagah berani.

No comments:

Post a Comment