Thursday, November 27, 2014

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR, PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF, STATUS GIZI DAN STIMULASI KOGNITIF DENGAN KECERDASAN ANAK USIA 5 – 6 TAHUN

PENDAHULUAN
Kecerdasan merupakan salah satu modal untuk mengarungi kehidupan masa depan, sehingga perlu diperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Undang-undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 kesehatan anak dapat dilakukan melalui peningkatan kesehatan sejak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, usia sekolah (1). Faktor genetik hanya memiliki peranan sebesar 48% dalam membentuk kecerdasan anak, sisanya adalah faktor lingkungan termasuk ketika masih dalam kandungan. Perbedaan berat badan lahir akan menentukan kemampuan kecerdasan anak, karena berat badan lahir berhubungan erat dengan zat gizi yang diberikan janin (2).
Faktor nutrisi berperan dalam perkembangan otak sejak masa sebelum konsepsi maupun pascanatal (3). Bayi dengan berat lahir di bawah 2500 g akan mengalami perkembangan mental yang kurang baik dibandingkan bayi yang lahir dengan berat badan normal atau lebih bila tidak diberikan stimulasi (4). Anak dengan berat lahir rendah mempunyai nilai rata-rata IQ lebih rendah (89,5±16,9) dibandingkan dengan anak dengan berat lahir cukup (97,2±14,1).6 Peran malnutrisi terhadap kecerdasan didasarkan pada fakta bahwa anak dengan kekurangan energi protein (KEP), otaknya 15–20% lebih ringan dibandingkan bayi normal, bahka bisa mencapai 40% bila KEP berlangsung sejak janin. Oleh karena itu, anak KEP umumnya memiliki IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal dan mengingat lebih rendah dari pada anak yang mendapatkan zat gizi baik (2). Asupan zat gizi bayi harus dijaga, idealnya bayi mendapat air susu ibu (ASI) secara eksklusif sampai usia 4–6 bulan. ASI banyak mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan otak antara lain asam folat, arachidonic acid (AA), docosahexaenoic acid (DHA), zat besi dan kolin (3). Orang tua perlu memberikan stimulasi sedini mungkin agar anak dapat berkembang dan belajar dari lingkungan (5). Masa kanak-kanak merupakan usia kelompok yaitu mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi untuk masuk sekolah, usia penjelajah yaitu suatu label bahwa anak ingin mengetahui keadaan lingkungan, bagaimana mekanismenya maka disebut juga usia bertanya, usia meniru yaitu meniru pembicaraan dan tindakan orang lain, masa kreatif yaitu menunjukkan kreativitas dalam bermain dan masa untuk mempelajari ketrampilan tertentu (6). Oleh karena orang tua perlu memperhatikan perkembangan anak khususnya kecerdasan.
Dari 226 anak usia 0-3 tahun di Kecamatan Prambanan ada 100 anak (44%) mengalami pertumbuhan tidak normal dan ada 112 anak (49%) mengalami gangguan perkembangan yang diukur dengan menggunakan kuesioner praskrining perkembangan (KSKP). Dari hasil penelitian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang menganalisis hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI secara eksklusif, status gizi, dan perkembangan berhubungan dengan kecerdasan. Membangun kecerdasan anak memerlukan peran orang tua untuk  mengembangkan kecerdasan yang optimal dengan cara pemberian makanan yang bergizi dan perawatan yang baik serta rangsangan  untuk daya pikir anak (7).
             Penelitian ini bertujuan secara umum adalah mengetahui hubungan berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif, status gizi dan stimulasi kognitif dengan kecerdasan dan secara khusus adalah menggambarkan proporsi kecerdasan anak, mengetahui  hubungan berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif, status gizi dan stimulasi kognitif terhadap kecerdasan anak usia 5-6 tahun di Kecamatan Prambanan Sleman.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat observasional-analitik dengan rancang bangun penelitian cross sectional.  Populasi penelitian adalah anak taman kanak-kanak 3 desa di Kecamatan Prambanan yaitu Bokoharjo, Madurejo dan Sumberharjo.  Sampel diambil dengan cara cluster random sampling. Peneliti memilih 5 buah sekolah taman kanak-kanak secara random dari 20 sekolah dan tiap sekolah yang terpilih diambil murid secara random sampling.  Subjek terdiri dari murid  dan orang tuanya (ibu kandung) dan berjumlah 50.  Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2005 sampai Pebruari 2006.
Kecerdasan anak dinilai oleh psikolog dengan menggunakan tes Stanford-Binet secara individual; kecerdasan dinilai normal bila total nilai ³ 90 dan tidak normal bila total nilai < 90. Status gizi dinilai dengan indikator tinggi badan menurut umur dan dihitung berdasarkan z-score (haz, height for age z-scores).  Bila nilai haz < - 2 SD anak disebut pendek, sedangkan bila nilai haz ³ 2 SD anak disebut normal. Tinggi badan diukur dengan menggunakan microtois, dengan ketepatan 0,1 cm. Data karakteristik orang tua dan anak, cara pemberian ASI, dan stimulasi kognitif didapatkan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi sebelumnya. Stimulasi kognitif disebut baik bila total nilai ³ 74, dan disebut kurang bila total nilai < 74.
Data dianalisis dengan chi square test dan analisis regresi logistik ganda dengan program komputer.

HASIL DAN BAHASAN
            Data karakteristik anak dapat dilihat pada Tabel 1. Berat badan lahir ≥2500 gram sebesar 92,0%, pemberian ASI eksklusif < 4 bulan  76,0%, dan status gizi normal sebesar 84,0%. Pada umumnya ibu kurang memberikan stimulasi kognitif (54,0%) dan hasil pengukuran kecerdasan dengan menggunakan Stanford-Binet menunjukkan sebagian besar anak mempunyai nilai normal. Tingkat pendidikan ibu adalah sebagai berikut: pendidikan ≥ SMA (52,0%)  dan pekerjaan ibu adalah: ibu tidak bekerja (66,0%) dan ibu bekerja (34,0%).
            Skor kecerdasan menurut variabel dapat dilihat pada Tabel 2. Subjek dengan berat badan lahir ≥ 2500 gram mempunyai skor kecerdasan 6,51 poin lebih tinggi  
dibandingkan berat badan lahir >2500 gram. Anak yang mendapat ASI eksklusif ≥ 4 bulan mempunyai skor kecerdasan 15,03 poin lebih tinggi dibandingkan pemberian ASI eksklusif < 4 bulan. Anak tidak pendek atau normal  mempunyai skor kecerdasan 2,5 poin lebih tinggi dibandingkan anak pendek dan stimulasi kognitif kategori baik mempunyai skor kecerdasan 5,9 poin lebih tinggi dari anak yang mendapat stimulasi kurang.
Tabel 3 menggambarkan hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI secara eksklusif, status  gizi, dan stimulasi kognitif dengan kecerdasan secara univariat. Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya stimulasi kognitif kurang yang merupakan faktor risiko untuk memperoleh skor kecerdasan tidak normal (OR 15,1; 95%CI: 1,769-129,330), artinya anak yang mendapatkan stimulasi kognitif kategori kurang mendapatkan risiko 15,1 kali mendapatkan kecerdasan tidak normal dibandingkan anak mendapatkan stimulasi kognitif baik.
Tabel 4 menggambarkan hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI secara eksklusif, dan stimulasi kognitif dengan kecerdasan secara multivariat. Ke-3 variabel tersebut dimasukkan ke dalam analisis multivariat karena nilai p<0 b="">Tabel 4
menunjukkan bahwa hanya stimulasi kognitif kurang yang merupakan faktor risiko untuk memperoleh skor kecerdasan tidak normal stimulasi kognitif mempunyai OR:15,6 (95%CI: 1,725-141,272) yang artinya anak mendapatkan stimulasi kognitif kategori kurang mempunyai peluang 15,6 kali mendapatkan kecerdasan tidak normal dibandingkan anak mendapatkan stimulasi kognitif kategori baik setelah dikontrol oleh variabel berat badan lahir dan pemberian ASI secara eksklusif.             Kecerdasan dipengaruhi oleh faktor bawaan (genetically determined) dan lingkungan (learned) (8). Dengan analisis multivariat kami tidak mendapatkan hubungan antara berat badan lahir dengan kecerdasan, kemungkinan anak dengan berat badan lahir rendah jika diberikan pola asuh yang baik, dicukupi asupan zat gizi dan mendapatkan stimulasi dari orang tua maka pertumbuhan dan perkembangan otak dapat berkembang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Weisglas et al (4) menyimpulkan anak yang mempunyai berat badan lahir sangat rendah jika diberikan stimulasi yang baik dari lingkungan maka perkembangan kognitif dapat meningkat. Penelitian tentang hubungan antara berat lahir dengan fungsi kognitif pada anak usia 11 tahun membuktikan bahwa berat lahir memberikan kontribusi sebesar 3,8% untuk skor kognitif (9). Para peneliti di India  menyebutkan bahwa faktor biologi khususnya berat badan lahir mempengaruhi perkembangan kognitif tapi memberikan kontribusi yang kecil (4,1%). Skor inteligensi anak dengan berat badan normal lebih tinggi (97,2±14,1) dibandingkan berat badan kurang (89,5±16,9) (10). Martyn et al. (11) menyimpulkan berat badan lahir secara statistik tidak berhubungan dengan fungsi kognitif, tetapi secara tidak langsung dapat memprediksi inteligensi pada masa dewasa.
            Pada penelitian ini didapatkan angka pemberian ASI eksklusif ≥ 4 bulan sebesar 24,0%.  Pada umumnya responden tidak memberikan ASI Eksklusif selama ≥ 4 bulan dengan alasan ASI tidak cukup, bayi belum kenyang, sering menangis, ditinggal kerja, ASI belum keluar dan untuk tambahan zat gizi/cepat besar. Hal ini sesuai penelitian di Bandung, ibu memberikan ASI eksklusif ≥4 bulan sebesar 33,3% dan alasan mereka memberikan makanan tambahan pada anak umur <4 adalah="" anak="" bulan="" lapar="" masih="" o:p="">
Dengan analisis multivariat kami tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kecerdasan. Selain ASI banyak faktor yang mempengaruhi kecerdasan yaitu pendidikan orang tua, status sosial, perilaku ibu sejak hamil, masa kehamilan, proses melahirkan, berat dan panjang bayi lahir (13). Menurut peneliti responden mendapatkan zat gizi selain dari ASI juga dari jenis makanan lain. Pada umumnya anak diberi ASI dan jenis makanan lain misalnya susu formula, bubur, dan sebagainya. Apabila anak mendapatkan asupan zat gizi yang baik dan stimulasi sejak dini maka perkembangan kognitif dapat berkembang dengan baik. Selain faktor  gizi, kebutuhan stimulasi dari orang tua memegang peranan penting untuk perkembangan kecerdasan anak (14). Upaya merangsang anak untuk memperkenalkan suatu pengetahuan atau ketrampilan ternyata sangat penting dalam meningkatkan kecerdasan serta dapat merangsang sel otak. Hal ini sesuai dengan penelitian Slykerman et al. (15) yang menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan skor inteligensi dalam seluruh subjek tetapi cenderung meningkat antara lama pemberian ASI eksklusif dengan tingginya skor inteligensi.
ASI mengandung polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang penting untuk perkembangan kognitif (16). Anak yang diberi ASI eksklusif <3 2-3="" 4-6="" 6="" 7-9="" anak="" asi="" bahwa="" bulan="" dalam="" dan="" dengan="" dibandingkan="" diberi="" eksklusif="" hubungan="" kecerdasan="" kognitif="" lama="" lebih="" membuktikan="" mempunyai="" nbsp="" pada="" panjang="" pemberian="" penelitian="" penting="" perkembangan="" prasekolah.="" rendah="" skor="" tentang="" untuk="" waktu="" yang=""> 9 bulan masing-masing mempunyai mean IQ 99,4; 101,7; 102,3; 106,0 dan 104,0 serta ASI eksklusif memberikan kontribusi 46% terhadap kecerdasan (13). Hal ini sejalan dengan penelitian Quinn et al. (19) yang menyimpulkan ada hubungan positif antara pemberian ASI dengan score Peabody Picture Vocabulary Test Revised (PPVT-R) dan semakin lama pemberian ASI akan meningkatkan skor (PPVT-R). Anak berat badan lahir rendah yang diberi ASI skor IQ 2,3 lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak diberi ASI (20). Anak yang diberi ASI ≥ 4 bulan mempunyai skor 4,3 poin lebih tinggi perkembangan kognitifnya dibandingkan bayi  diberikan ASI < 4 bulan (21).
Dengan analisis Chi square  kami tidak mendapatkan hubungan antara status gizi  dengan kecerdasan. Bila ibu hamil memperoleh asupan zat gizi cukup dan sampai umur 2 tahun anak juga mendapatkan asupan zat gizi cukup, maka pertumbuhan otak normal sehingga perkembangan kognitif dan motorik anak menjadi baik (22). Selain faktor gizi, situasi dan lingkungan mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak. Perawatan yang baik, yang didengar dan dipelajari anak sejak kandungan sampai usia 5 tahun sangat menentukan kecerdasan dasar anak. Peranan orang tua adalah memberikan stimulasi sedini mungkin agar anak dapat berkembang dan belajar dari lingkungan (5).
Kecerdasan tidak saja dipengaruhi oleh status gizi tapi juga dipengaruhi faktor lain yaitu genetik dan lingkungan antara lain penyakit, kasih sayang orang tua, stimulasi kognitif dan kualitas interaksi anak dengan orang tua (23). Pada penelitian ini kemungkinan anak mengalami gangguan pertumbuhan karena terserang penyakit atau kurang gizi yang relatif lama pada usia setelah 2 tahun, sehingga perkembangan fisik terganggu tetapi tingkat kecerdasannya baik.
Tidak ada perbedaan skor IQ antara anak tinggi badan normal dengan  tidak normal (pendek), walaupun kemampuan membaca mereka rendah (24). Peningkatan skor kognitif di sekolah sama antara anak yang tinggi badan normal dan pendek (25). Namun tidak ada hubungan signifikan antara status gizi masa lampau dengan inteligensi pada anak sekolah dasar (26).
            Dengan analisis multivariat tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stimulasi kognitif dengan kecerdasan. Ini sesuai dengan penelitian yang menyimpulkan bahwa anak yang diberikan stimulasi mempunyai skor IQ lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak diberikan stimulasi (4,28). Anak yang diberi suplemen dan stimulasi mempunyai IQ lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak diberikan suplemen dan stimulasi (27-29). Begitu juga penelitian menyimpulkan pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh status gizi, usia ibu dan stimulasi yang dilakukan ibu (30). Hal ini kemungkinan responden mendapatkan stimulasi kognitif dan belajar tidak saja dari lingkungan keluarga tapi dapat dari teman bermain maupun guru (23). Para psikolog menyebutkan anak prasekolah merupakan usia kelompok yaitu mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi untuk masuk sekolah, usia penjelajah yaitu suatu label bahwa anak ingin mengetahui keadaan lingkungan, bagaimana mekanismenya maka disebut juga usia bertanya, usia meniru yaitu meniru pembicaraan dan tindakan orang lain,  masa kreatif yaitu menunjukkan kreativitas dalam bermain (6). Oleh karena itu, anak mendapatkan stimulasi tidak saja dari orang tua juga dari lingkungan luar. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang diberikan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) waktu memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimulasi serta dukungan emosional dan kasih sayang memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan intelektual anak (31).

KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa stimulasi kognitif ada hubungannya dengan skor kecerdasan, sedangkan berat badan lahir, status gizi, dan pemberian ASI secara eksklusif tidak ada hubungannya dengan skor kecerdasan. Karena itulah kami menyarankan agar ibu memberikan stimulasi kognitif yang baik kepada anaknya. Para petugas kesehatan harus siap membantu ibu bila ibu menginginkan penjelasan tentang cara memberikan stimulasi kognitif kepada anaknya.

No comments:

Post a Comment