PENDAHULUAN
Kecerdasan merupakan salah satu modal untuk mengarungi
kehidupan masa depan, sehingga perlu diperhatikan pertumbuhan dan perkembangan
anak. Menurut Undang-undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 kesehatan anak dapat
dilakukan melalui peningkatan kesehatan sejak dalam kandungan, masa bayi, masa
balita, usia prasekolah, usia sekolah (1). Faktor genetik hanya memiliki
peranan sebesar 48% dalam membentuk kecerdasan anak, sisanya adalah faktor
lingkungan termasuk ketika masih dalam kandungan. Perbedaan berat badan lahir
akan menentukan kemampuan kecerdasan anak, karena berat badan lahir berhubungan
erat dengan zat gizi yang diberikan janin (2).
Faktor nutrisi berperan dalam perkembangan otak
sejak masa sebelum konsepsi maupun pascanatal (3). Bayi dengan berat lahir di
bawah 2500 g akan mengalami perkembangan mental yang kurang baik dibandingkan
bayi yang lahir dengan berat badan normal atau lebih bila tidak diberikan
stimulasi (4). Anak dengan berat lahir rendah mempunyai nilai rata-rata IQ lebih
rendah (89,5±16,9) dibandingkan dengan anak dengan berat lahir cukup
(97,2±14,1).6 Peran malnutrisi terhadap kecerdasan didasarkan pada fakta bahwa
anak dengan kekurangan energi protein (KEP), otaknya 15–20% lebih ringan
dibandingkan bayi normal, bahka bisa mencapai 40% bila KEP berlangsung sejak
janin. Oleh karena itu, anak KEP umumnya memiliki IQ rendah. Kemampuan
abstraktif, verbal dan mengingat lebih rendah dari pada anak yang mendapatkan
zat gizi baik (2). Asupan zat gizi bayi harus dijaga, idealnya bayi mendapat
air susu ibu (ASI) secara eksklusif sampai usia 4–6 bulan. ASI banyak
mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan otak antara lain asam folat, arachidonic
acid (AA), docosahexaenoic acid
(DHA), zat besi dan kolin (3). Orang tua perlu memberikan stimulasi sedini
mungkin agar
anak dapat berkembang dan belajar dari lingkungan (5). Masa kanak-kanak
merupakan usia kelompok yaitu mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih
tinggi untuk masuk sekolah, usia penjelajah yaitu suatu label bahwa anak ingin
mengetahui keadaan lingkungan, bagaimana mekanismenya maka disebut juga usia
bertanya, usia meniru yaitu meniru pembicaraan dan tindakan orang lain, masa
kreatif yaitu menunjukkan kreativitas dalam bermain dan masa untuk mempelajari
ketrampilan tertentu (6). Oleh
karena orang tua perlu memperhatikan perkembangan anak khususnya kecerdasan.
Dari
226 anak usia 0-3 tahun di Kecamatan Prambanan ada 100 anak (44%) mengalami pertumbuhan
tidak normal dan ada 112 anak (49%) mengalami gangguan perkembangan yang diukur
dengan menggunakan kuesioner praskrining perkembangan (KSKP). Dari hasil
penelitian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
menganalisis hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI secara eksklusif,
status gizi, dan perkembangan berhubungan dengan kecerdasan. Membangun
kecerdasan anak memerlukan peran orang tua untuk mengembangkan kecerdasan yang optimal dengan
cara pemberian makanan yang bergizi dan perawatan yang baik serta
rangsangan untuk daya pikir anak (7).
Penelitian ini bertujuan secara umum adalah mengetahui hubungan berat badan lahir,
pemberian ASI eksklusif, status gizi dan stimulasi kognitif dengan kecerdasan dan secara khusus adalah menggambarkan proporsi kecerdasan anak, mengetahui
hubungan berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif, status gizi dan
stimulasi kognitif terhadap kecerdasan anak usia 5-6 tahun di Kecamatan
Prambanan Sleman.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat observasional-analitik
dengan rancang
bangun penelitian cross sectional. Populasi
penelitian adalah anak taman kanak-kanak 3 desa di Kecamatan Prambanan yaitu
Bokoharjo, Madurejo dan Sumberharjo.
Sampel diambil dengan cara cluster
random sampling. Peneliti memilih 5 buah sekolah taman kanak-kanak secara random dari 20 sekolah dan tiap sekolah
yang terpilih diambil murid secara
random sampling. Subjek terdiri dari murid dan orang tuanya (ibu kandung) dan berjumlah
50. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Desember 2005 sampai Pebruari 2006.
Kecerdasan
anak dinilai oleh psikolog dengan menggunakan tes
Stanford-Binet secara individual; kecerdasan dinilai normal bila total nilai ³ 90 dan tidak normal bila total nilai < 90. Status
gizi dinilai dengan indikator tinggi badan menurut umur dan dihitung
berdasarkan z-score (haz, height for age
z-scores). Bila nilai haz < - 2
SD anak disebut pendek, sedangkan bila nilai haz ³ 2 SD anak disebut normal. Tinggi badan diukur dengan
menggunakan microtois, dengan ketepatan 0,1 cm. Data karakteristik orang
tua dan anak, cara pemberian ASI, dan stimulasi kognitif didapatkan dengan
wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi sebelumnya.
Stimulasi kognitif disebut baik bila total nilai ³ 74, dan disebut kurang bila total nilai < 74.
Data
dianalisis dengan chi square test dan
analisis regresi logistik ganda dengan program komputer.
HASIL DAN BAHASAN
Data karakteristik anak dapat dilihat pada Tabel 1. Berat badan lahir ≥2500 gram
sebesar 92,0%, pemberian ASI eksklusif < 4 bulan 76,0%, dan status gizi normal sebesar 84,0%. Pada umumnya ibu kurang memberikan
stimulasi kognitif (54,0%) dan hasil pengukuran kecerdasan dengan menggunakan
Stanford-Binet menunjukkan sebagian besar anak mempunyai nilai normal. Tingkat
pendidikan ibu adalah sebagai berikut: pendidikan ≥ SMA (52,0%) dan pekerjaan ibu adalah: ibu tidak bekerja (66,0%) dan ibu bekerja (34,0%).
Skor kecerdasan menurut variabel dapat dilihat pada Tabel 2. Subjek dengan berat badan lahir ≥ 2500 gram mempunyai skor
kecerdasan 6,51 poin lebih tinggi dibandingkan berat badan
lahir >2500 gram. Anak yang mendapat ASI eksklusif ≥ 4 bulan mempunyai skor
kecerdasan 15,03 poin lebih tinggi dibandingkan pemberian ASI eksklusif < 4
bulan. Anak tidak pendek atau normal
mempunyai skor kecerdasan 2,5 poin lebih tinggi dibandingkan anak pendek
dan stimulasi kognitif kategori baik mempunyai skor kecerdasan 5,9 poin lebih
tinggi dari anak yang mendapat stimulasi kurang.
Tabel 3
menggambarkan hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI secara
eksklusif, status gizi, dan stimulasi
kognitif dengan kecerdasan secara univariat. Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya stimulasi kognitif kurang yang
merupakan faktor risiko untuk memperoleh skor kecerdasan tidak normal (OR 15,1;
95%CI: 1,769-129,330), artinya anak yang mendapatkan stimulasi kognitif
kategori kurang mendapatkan risiko 15,1 kali mendapatkan kecerdasan tidak
normal dibandingkan anak mendapatkan stimulasi kognitif baik.
Tabel 4
menggambarkan hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI secara
eksklusif, dan stimulasi kognitif dengan kecerdasan secara multivariat. Ke-3
variabel tersebut dimasukkan ke dalam analisis multivariat karena nilai
p<0 b="">Tabel 40>
menunjukkan bahwa
hanya stimulasi kognitif kurang yang merupakan faktor risiko untuk memperoleh
skor kecerdasan tidak normal stimulasi kognitif mempunyai OR:15,6 (95%CI:
1,725-141,272) yang artinya anak mendapatkan stimulasi kognitif kategori kurang
mempunyai peluang 15,6 kali mendapatkan kecerdasan tidak normal dibandingkan
anak mendapatkan stimulasi kognitif kategori baik setelah dikontrol oleh
variabel berat badan lahir dan pemberian ASI secara eksklusif.
Pada penelitian ini didapatkan angka pemberian ASI
eksklusif ≥ 4 bulan sebesar 24,0%. Pada
umumnya responden tidak memberikan ASI Eksklusif selama ≥ 4 bulan dengan alasan
ASI tidak cukup, bayi belum kenyang, sering menangis, ditinggal kerja, ASI
belum keluar dan untuk tambahan zat gizi/cepat besar. Hal ini sesuai penelitian
di Bandung, ibu memberikan ASI eksklusif ≥4 bulan sebesar 33,3% dan alasan
mereka memberikan makanan tambahan pada anak umur <4 adalah="" anak="" bulan="" lapar="" masih="" o:p="">4>
Dengan analisis multivariat kami tidak
mendapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan
kecerdasan. Selain ASI banyak faktor yang mempengaruhi kecerdasan yaitu
pendidikan orang tua, status sosial, perilaku ibu sejak hamil, masa kehamilan, proses melahirkan, berat dan
panjang bayi lahir (13). Menurut
peneliti responden mendapatkan zat gizi selain dari ASI juga dari jenis makanan
lain. Pada umumnya anak diberi ASI dan jenis makanan
lain misalnya susu formula, bubur, dan sebagainya. Apabila anak mendapatkan
asupan zat gizi yang baik dan stimulasi sejak dini maka perkembangan kognitif
dapat berkembang dengan baik. Selain faktor gizi,
kebutuhan stimulasi dari orang tua memegang peranan penting untuk perkembangan
kecerdasan anak (14). Upaya merangsang anak untuk memperkenalkan suatu
pengetahuan atau ketrampilan ternyata sangat penting dalam meningkatkan
kecerdasan serta dapat merangsang sel otak. Hal ini sesuai dengan penelitian
Slykerman et al. (15) yang menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan skor
inteligensi dalam seluruh subjek tetapi cenderung meningkat antara lama
pemberian ASI eksklusif dengan tingginya skor inteligensi.
ASI
mengandung polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang penting untuk
perkembangan kognitif (16). Anak yang diberi ASI eksklusif <3 2-3="" 4-6="" 6="" 7-9="" anak="" asi="" bahwa="" bulan="" dalam="" dan="" dengan="" dibandingkan="" diberi="" eksklusif="" hubungan="" kecerdasan="" kognitif="" lama="" lebih="" membuktikan="" mempunyai="" nbsp="" pada="" panjang="" pemberian="" penelitian="" penting="" perkembangan="" prasekolah.="" rendah="" skor="" tentang="" untuk="" waktu="" yang=""> 9 bulan masing-masing
mempunyai mean IQ 99,4; 101,7; 102,3;
106,0 dan 104,0 serta ASI eksklusif memberikan kontribusi 46% terhadap
kecerdasan (13). Hal ini sejalan dengan penelitian Quinn et al. (19)
yang menyimpulkan ada hubungan positif antara pemberian ASI dengan score
Peabody Picture Vocabulary Test Revised (PPVT-R) dan semakin lama
pemberian ASI akan meningkatkan skor (PPVT-R). Anak berat badan lahir rendah yang diberi ASI skor IQ 2,3 lebih
tinggi dibandingkan anak yang tidak diberi ASI (20). Anak yang diberi ASI ≥ 4
bulan mempunyai skor 4,3 poin lebih tinggi perkembangan kognitifnya
dibandingkan bayi diberikan ASI < 4
bulan (21). 3>
Dengan analisis
Chi square kami tidak mendapatkan hubungan antara status
gizi dengan kecerdasan. Bila ibu hamil
memperoleh asupan zat gizi cukup dan sampai umur 2 tahun anak juga mendapatkan
asupan zat gizi cukup, maka pertumbuhan otak normal sehingga perkembangan kognitif
dan motorik anak menjadi baik (22). Selain faktor
gizi, situasi dan lingkungan mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak.
Perawatan yang baik, yang didengar dan dipelajari anak sejak kandungan sampai
usia 5 tahun sangat menentukan kecerdasan dasar anak. Peranan orang tua adalah
memberikan stimulasi sedini mungkin agar anak dapat berkembang dan belajar dari
lingkungan (5).
Kecerdasan
tidak saja dipengaruhi oleh status gizi tapi juga dipengaruhi faktor lain yaitu
genetik dan lingkungan antara lain penyakit, kasih sayang orang tua, stimulasi
kognitif dan kualitas interaksi anak dengan orang tua (23). Pada penelitian ini
kemungkinan anak mengalami gangguan pertumbuhan karena terserang penyakit atau
kurang gizi yang relatif lama pada usia setelah 2 tahun, sehingga perkembangan
fisik terganggu tetapi tingkat kecerdasannya baik.
Tidak
ada perbedaan skor IQ antara anak tinggi badan normal dengan tidak normal (pendek), walaupun kemampuan
membaca mereka rendah (24). Peningkatan skor kognitif di sekolah sama antara
anak yang tinggi badan normal dan pendek (25). Namun tidak ada hubungan
signifikan antara status gizi masa lampau dengan inteligensi pada anak sekolah
dasar (26).
Dengan
analisis multivariat tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stimulasi
kognitif dengan kecerdasan. Ini sesuai dengan penelitian yang menyimpulkan
bahwa anak yang diberikan stimulasi mempunyai skor IQ lebih tinggi dibandingkan
anak yang tidak diberikan stimulasi (4,28). Anak yang diberi suplemen dan
stimulasi mempunyai IQ lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak diberikan
suplemen dan stimulasi (27-29). Begitu juga penelitian menyimpulkan pertumbuhan
dan perkembangan
anak dipengaruhi oleh
status gizi, usia ibu dan stimulasi yang dilakukan ibu (30). Hal ini
kemungkinan responden mendapatkan stimulasi kognitif dan belajar tidak saja
dari lingkungan keluarga tapi dapat dari teman bermain maupun guru (23). Para
psikolog menyebutkan anak prasekolah merupakan usia kelompok yaitu mempelajari
dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi untuk masuk
sekolah, usia penjelajah yaitu suatu label bahwa anak ingin mengetahui keadaan
lingkungan, bagaimana mekanismenya maka disebut juga usia bertanya, usia meniru
yaitu meniru pembicaraan dan tindakan orang lain, masa kreatif yaitu menunjukkan kreativitas
dalam bermain (6). Oleh karena itu, anak mendapatkan stimulasi tidak saja dari
orang tua juga dari lingkungan luar. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang
diberikan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) waktu memberikan
makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimulasi serta dukungan emosional
dan kasih sayang memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan
intelektual anak (31).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa stimulasi kognitif ada
hubungannya dengan skor kecerdasan, sedangkan berat badan lahir, status gizi,
dan pemberian ASI secara eksklusif tidak ada hubungannya dengan skor
kecerdasan. Karena itulah kami menyarankan agar ibu memberikan stimulasi
kognitif yang baik kepada anaknya. Para petugas kesehatan harus siap membantu
ibu bila ibu menginginkan penjelasan tentang cara memberikan stimulasi kognitif
kepada anaknya.
No comments:
Post a Comment